Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Sunday, November 2, 2014

Tentang Sebuah Kata Bernama Kecewa

"Sampai kapan kamu akan menunggunya?"

Seorang gadis berusia 18 tahunan tampak termenung dan tak mempedulikan ucapan sahabatnya. Mereka berdua tengah duduk di tepi danau yang sedikit keruh namun banyaknya pepohonan membuat tempat itu sering dikunjungi orang.

Naina namanya. Usianya belum genap 19 tahun. Sudah hampir beberapa bulan ini matanya selalu terlihat sembab, terlebih ketika pagi menjelang. Zia--gadis lain yang duduk di sebelahnya--sekali lagi memerhatikannya dengan seksama.

"Kapan terakhir kali kamu makan nasi?"

Pertanyaan itu mampu membuat Naina menoleh dan mengalihkan pandangannya dari buih-buih air danau. Ia tersenyum sekilas, menatap Zia dengan tatapan meminta maaf yang ditanggapi Zia dengan beberapa kali gelengan kepala sebuah pertanda kalau Zia sedang kesal.

"Jadi roti atau pop mie? Tanpa susu juga?"

Naina akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Zia namun terhenti ketika Zia memanggil seorang tukang Siomay yang lewat di depan mereka. Naina ingin protes. Ia belum lapar, atau mungkin malah tidak lapar sama sekali. Namun ia paham betul perangai sahabatnya itu yang tak akan membiarkannya pulang begitu saja sebelum ia memakan sesuatu. Akhirnya ia memilih mengalah. Toh nanti malam ia juga belum tentu makan, tak apa jika siang ini ia mengganjal perutnya dengan seporsi siomay.

"Zia, ada abang penjual es doger itu.."

Naina menunjuk ke arah utara dan ekor mata Zia mengikuti ke mana jari Naina menunjuk. Terlihat abang penjual es doger langganan mereka berjalan pelan  dari arah masjid kampus, menyusuri tepian danau dan menuju ke arah mereka. Zia tersenyum penuh arti, tampak ia mengerti dengan maksud Naina.

"Kemarin aku beli sama si Dian, diskon 1500..Hahaha..Sekarang mau nguji peruntungan lagi nggak?"

Zia mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan kepada penjual siomay dan menerima dua bungkus siomay, kemudian memberikan salah satunya kepada sahabatnya. Naina memerhatikan sekilas sebungkus siomay yang kini ada di tangannya. Kentang, tahu, kubis, siomay, tanpa otak-otak. Ia menepuk bahu Zia  beberapa kali yang direspon dengan senyuman lebar sahabatnya itu.

"Bang, satu di plastik, satu lagi di gelas ya..."

Naina memesan dua ketika si abang penjual es doger berhenti tepat di samping Zia. Abangnya tersenyum dan dengan cekatan membuat es pesanan mereka. Es yang di plastik tanpa tape dan ekstra susu. Setelah mereka menerima pesanan mereka, si abang kembali berjalan mengelilingi danau. Setengah jam lagi abangnya akan kembali menghampiri mereka untuk mengambil gelas, seperti biasanya.

"Aku nyobain tapenya dong..dikit aja, boleh?"

Naina menampilkan wajah memelas khasnya yang selalu bisa membuat Zia mengabulkan apapun itu yang menjadi permintaannya. Setelah Naina mengambil sepotong tape yang ada di gelas Zia, mereka berdua sesaat terdiam. Mungkin larut dalam pikiran masing-masing. Hingga sebuah pernyataan terlontar dari mulut Naina.

"Februari sudah hampir berakhir, Zia. Meskipun begitu, bisakah aku menyerah begitu saja jika hatiku mengatakan bahwa aku masih harus menunggunya? Hal apalagi yang harus aku perbuat?"

Zia menghela napas panjang, tidak langsung menanggapi perkataan Naina. Ia tak ingin menyakiti hati sahabatnya. Biasanya ia dengan lembut akan langsung menyuruh Naina untuk berhenti berharap. Namun kali ini ia tak ingin seperti itu. Naina tak akan mengubah keputusannya bahkan mungkin jika sampai setahun lagi lelaki itu tak juga muncul, Naina akan tetap bertahan. Zia paham betul Naina seperti apa. Ia tak setega Naya yang akan mengatakan kepada Naina untuk mencari pengganti lelaki itu.

"Seberapa besar kamu menyayanginya, Na?"

Naina terdiam cukup lama. Segala macam pertanyaan dan rentetan peristiwa tujuh bulan belakangan ini memenuhi otaknya. Seberapa besar ia menyayangi lelaki itu, yang bahkan wajahnya pun dulu sempat tak ia ingat? Berapa kali ia merasakan sebuah kekecawaan atas sikapnya selama ini? Apakah besarnya rasa sayang yang ia miliki sanggup untuk menghapus semua rasa kecewa yang ia rasakan?

"Mungkin memang aku yang salah. Seharusnya aku tak mengingkari janjiku akhir tahun lalu untuk menemuinya. Pasti dia kecewa, Zia."

Pernyataan menyalahkan diri sendiri. Zia hafal di luar kepala dengan kalimat yang selalu diucapkan Naina hampir tiga bulan ini.

"Biarlah aku telan semua rasa kecewa ini, Zia. Aku yakin suatu saat nanti dia akan mengerti bahwa aku selalu menunggunya. Aku ingin memercayainya, sekali lagi."

Zia menoleh sekilas dan mendapati mata Naina berkaca-kaca. Ia mengelus pelan punggung sahabatnya itu sambil memerhatikan dengan seksama raut wajah Naina. Sahabat baiknya yang selalu tampak ceria, tiba-tiba menjadi pemurung. Wajahnya putih pucat dan lingkar matanya hitam sekali. Zia kembali menyadari sesuatu ketika ia melihat baju yang dikenakan Naina sangat longgar.

"Berat badanmu turun lagi. Besok pagi bawa baju ganti sama buku buat hari Senin sekalian, selesai beresin tugas nginap aja di tempatku ya."

Naina mengangguk tanpa menoleh. Ia berusaha keras untuk menahan agar air matanya tak keluar.

***

"Seringkali kita berpikir bahwa menelan segala rasa kecewa akan membuat sebuah hubungan yang tadinya berantakan kembali baik-baik saja. Kita lupa memikirkan jika rasa kecewa yang kita telan terlalu banyak, maka rasa sayang yang kita rasakan juga akan memudar sedikit demi sedikit." (Momen sabtu sore,di tepian danau,dengan semilir angin yang tak berhenti menerpa)


Ketika rasa kecewa menghapus segalanya,
Menghilangkan yang telah berlalu,
Namun tak menghalangi rasa lain yang diam-diam merasuki jiwa.

Cha,
Rembang, 02 November 2014



No comments:

Post a Comment