Jogja, Mei 2007
Hari 1
Sebuah obrolan di telepon, pukul 22.00 WIB
A: "Dik, saya sekarang dalam perjalanan ke Jogja ya, mungkin sampai sana sekitar pukul 4 subuh. Kemarin sudah booking kamar di Vidi 2, jadi besok langsung meluncur ke sana. Jam 7 ada janji temu sama klien dan partner, sore free, jadi bisa ketemu kamu."
Hari 2
Sebuah pesan singkat di ponsel, pukul 17.25 WIB
A: "Kamu selesai kelas bimbingan jam 17.30 kan? Aku masih meeting di gedung sebelah, bahas project yang di Makassar dan Kendari, masih alot. Setengah jam lagi aku usahakan keluar. Tunggu ya. Mobil aku parkir di parkiran dekat musholla fakultas. Langsung ke sana saja."
Sebuah pesan singkat di ponsel, pukul 19.00 WIB
A: "Kamu nggak nunggu aku keluar ya tadi? Sekarang aku masih di Teknik, sekalian saja aku datang ke Homestay ya, alamatnya mana? Masih bisa nemuin tamu sampai jam 10 malam kan?"
Sebuah pesan singkat di ponsel, pukul 22.00 WIB
A: "Dik, kamu memang sengaja nggak mau nemuin aku ya? Besok jam 9 pagi aku pulang. Minggu ini jadwal kamu libur kan? Nggak ada acara ke lapangan? Besok pagi aku pengen pamit, aku tunggu di Vidi 2 atau kamu kirim alamat tempat kamu tinggal di Homestay berapa ya. Aku tunggu sms balasanmu."
Seminggu kemudian
A: "Kamu masih di Bandung? Sampai tanggal berapa di sana? Besok aku ke Jogja lagi, mungkin tiga hari di Jogja, sekalian mau kontrol bengkel yang di Godean. Kasih kabar kalau kamu sudah di Jogja lagi dan jangan lupa kirim doa buat bapak ya."
Rembang, Mei 2008
Sebuah obrolan di teras rumah, pukul 17.00 WIB
H: "Kamu jadinya mau lanjut di mana? Yang kemarin nggak dapat udahlah, nggak usah disesali. Masih bisa nyoba jalur lain, kan? Masih ada jalur kerja sama daerah dan tes umum kan? Masih pengen ke Jogja? Atau mau kembali ke rencana awal, di Semarang? Jangan jauh-jauh ya, biar mas gampang kontrolnya, bisa nengokin tiap weekend. Atau mau di Solo aja sekalian bareng mas?"
Depok, Agustus 2008
Sebuah pesan singkat di ponsel, pukul 13.00 WIB
N: "Nanti sore selesai ospek jam berapa, dik? Saya masih ada rapat di Senayan sampai jam 3 sore. Habis itu langsung ke Depok, tapi mungkin nanti naik KRL, tunggu di stasiun UI ya."
Sebuah obrolan di halte stasiun, pukul 17.00 WIB
N: "Udah dua tahun nggak naik kereta, kangen juga kadang-kadang. Kamu pengen jalan ke mana, dik? Mampir kost kamu sebentar ya, saya belum sholat Ashar. Sekalian ngambil titipan dari ibu buat saya, ada kan?"
Sebuah obrolan di kamar kost, pukul 17.15 WIB
N: "Ayo sholat, nggak apa-apa kan saya jadi imam buat kamu?"
Surakarta, Agustus 2008
Sebuah obrolan di telepon, pukul 10.00 WIB
H: "Dik, aku lagi di bookfair nih..Dua bulan ini udah muter-muter kota nyari hadiahmu belum nemu. Kalau diganti yang lain gimana? Kamu suka tulisannya Bob Foster kan? Ini kebetulan ada bukunya, aku beli ya.."
Depok, Oktober 2008
Sebuah obrolan di telepon, pukul 13.00 WIB
N: "Aku masih rapat dik. Mungkin selesainya malam, jam 8. Kalau nanti nggak sempat jemput ke Depok, aku kirim sopir ya. Atau kalau kamu berani naik kereta sendiri, tunggu di stasiun Kalibata, jam 9 nanti aku jemput di sana. Kita berangkat jam 10 saja biar nggak kena macet, musim mudik begini lebih enak jalan malam."
Sebuah obrolan di stasiun kereta, pukul 21.10 WIB
N: "Maaf ya dik, kamunya jadi lama nunggu. Aku baru pulang dan cuma sempat mandi aja ini, nanti kita makan di jalan aja ya. Sini kopernya aku bawain, mobil aku parkir di bawah fly over sebelum gate masuk tol."
Sebuah obrolan di dalam mobil, pukul 01.00 WIB
N: "Dik..bangun ya, makan dulu yuk..aku lapar. Kita udah sampai Indramayu. Kamu mau makan apa, pilihlah apa yang kamu pengen, aku ngikut aja."
Rembang, Oktober 2008
Sebuah obrolan di tepi jalan, pukul 14.00 WIB
H: "Hadiah kelulusanmu udah ada di rumah. Mau diantar apa kamu ambil? Yuk sekalian bareng mas aja ke rumahnya. Mama pasti senang ketemu kamu. Udah beberapa bulan nggak lihat kamu, kangen katanya."
Sebuah obrolan di telepon, pukul 11.00 WIB
N: "Kamu jadinya masuk tanggal berapa? Baliknya bareng aku aja lagi, capek kalau long drive sendirian nggak ada yang nemenin. Nanti sore main ke rumah ya, ibuku pengen ketemu, kangen ngobrol sama kamu katanya."
Depok, November 2008
Hari 1
Sebuah obrolan di telepon, pukul 17.30 WIB
N: "Kamu udah makan apa belum, dik? Jangan lupa ya besok bangun pagi, kita jogging jam 6.30, tunggu aku di halte Stadion, aku parkir di Wisma Makara saja, nanti jalan kaki dari sana."
Hari 2
Sebuah obrolan di sepanjang jalanan setapak hutan karet, pukul 8.00 WIB
N: "Jadi mau belajar makan di asrama? Selesai jogging kita langsung makan ya. Setelah itu temani aku, ada acara di Bidakara jam 10.00 WIB. Masih punya baju formal yang siap pakai kan?"
Sebuah obrolan di hotel Bidakara, pukul 11.00 WIB
N: "Kita duduk di sini saja. Jangan pedulikan teman-temanku yang suka iseng tanya-tanya. Biarkan saja mereka iri melihat kita. Ya gitu itu kelakuan laki-laki kalau membujang sampai umur 30 tahun."
Depok, Desember 2008
Sebuah obrolan di telepon, pukul 20.00 WIB
N: "Kamu lagi di mana? Jadi nginep di tempat temanmu? Tadi sore aku selesai ngajar mampir ke tempatmu katanya kamu nggak ada. Cek rekening ya, hari ini kebetulan aku ada rejeki lebih, sebagian aku kirim ke rekeningmu, lumayan kan bisa buat tambah-tambah jajan minggu ini."
Depok, Februari 2009
Sebuah obrolan di telepon, pukul 21.00 WIB
N: "Dik, kamu masih demam? Tadi udah sempat ke PKM belum? Aku nanti selesai rapat jam 10, kalau kamu mau diantar ke dokter, pulang kerja aku langsung ke Depok."
Depok, Maret 2009
Sebuah obrolan di telepon, pukul 20.00 WIB
N: "Aku kemarin habis pulang ke Rembang dik, mampir ke rumahmu ketemu ibu. Dibawain tape kesukaanku, kalau kamu mau besok aku antar ke tempatmu. Sekalian kita jalan-jalan ya, sebulan ini kan aku sibuk ke sana kemari urus pemilihan. Jadi mau kasih lihat jembatan yang di FIB itu kan? Sekalian ambil foto ya.."
*****
Ada begitu banyak cerita, kisah, dan sebuah obrolan yang dulu selalu aku abaikan. Kala itu, di saat usiaku baru menginjak 17 tahun, egoku begitu besar, tak pernah mendengarkan dan melihat satu-dua orang yang berusaha bersikap tulus.
Ada banyak tanya, dan rasa ingin tahu ketika itu. Entah itu tentang kejujuran, ketulusan, atau bahkan sampai tentang soulmate. Seperti apakah soulmate itu? Apakah orang yang selalu ada di dekat kita, saat kita senang maupun susah, cukup disebut sebagai soulmate kita? Seperti apakah ketulusan itu? Ketika aku tak lagi bisa membedakan mana orang baik dan mana yang bukan, saat itulah aku menganggap tak ada lagi ketulusan di dunia ini. Mata hatiku buta dan tertutup oleh idealisme yang mungkin tak real, sebuah keinginan untuk menemukan ketulusan, dengan caraku sendiri.
Kini, setelah sekian lama aku melihat dan merasakan rasa perih, suka, dan duka kehidupan, kadangkala rasa penyesalan itu hadir. Dulu sekali, ada sekian banyak orang yang berusaha tulus, tapi tak pernah aku hiraukan. Setelah semuanya pergi dan menghilang, sekali waktu rasanya ingin sekali kembali ke masa lalu, memutar semua peristiwa dan masa yang dulu aku ingkari, mencoba memperbaiki sikap dan pemikiranku tentang arti sebuah ketulusan.
Kembali ke masa lalu, mungkin hanyalah sebuah hayalan. Tak mungkin kan terjadi.
Lalu, sekali lagi egoku bertanya, akankah kamu tetap bertahan dengan sejuta tanya tentang ketulusan? Dan hatiku menjawab, ikhlaslah..cobalah menerima, dan ijinkan orang-orang yang sudah berusaha tulus masuk ke dalam kehidupanmu.
Hingga akhirnya detik ini jiwaku kembali terbuka, menanti dia yang memang tulus, ingin merengkuhnya sepenuh hati.
Tentang arti sebuah ketulusan,
Kala gerimis kembali menyapa,
Depok, 29 Agustus 2014
No comments:
Post a Comment