“Tidakkah kau sadari
sikapmu itu terlalu kaku dan dingin pada setiap lelaki, Lia?” Liana tersenyum
samar ketika ia mendengar Dina, sahabatnya, selalu mengucapkan pertanyaan yang
mungkin sudah berubah menjadi sebuah pernyataan sejak setahun silam. Meskipun
Dina tahu apa yang akan Liana katakan setelah ia mengajukan pertanyaan itu,
namun ia tetap mengajukannya.
“Apa yang kau harapkan
untuk ku katakan, Din?” Liana nampak jemu. Terhitung sudah ratusan kali ia
mendengar Dina selalu mengucapkan kalimat yang sama yang dipilih untuk
memancingnya agar melupakan kejadian setahun silam terkait Romeo dan melangkah
maju. Satu hal yang sampai saat ini belum bisa dilakukan oleh Liana.
Liana tersenyum getir, “aku
tidak bisa, Din. Luka itu masih terasa baru.” Dina menepuk-nepuk bahu Liana, “Lia..Lia..kau
masih tetap sama, ya. Masih saja bodoh seperti setahun lalu kalau urusan hati.
Cinta itu butuh logika, Lia. Tak cukup hanya pakai hati.”
Liana merenung. Dina
memang benar kadang-kadang. Atau malah seringkali benar, bukan hanya
kadang-kadang. Liana pandai berlogika. Ia selalu bisa memecahkan masalah
serumit apapun jika itu terkait penalaran. Liana juga berhati sensitif, hatinya
sangat lembut, mudah tersentuh. Namun satu hal yang tak pernah berhasil ia
lakukan, menggabungkan penggunaan logika dan hati secara bersamaan untuk
menyelesaikan satu masalah. Liana selalu memisahkan keduanya. Baginya, baik
logika maupun hati mempunyai jalannya sendiri-sendiri.
“Kalau kau berani
melangkah dan menggunakan logikamu sekali saja, aku yakin hatimu tak akan
sesakit ini jika kelak hubunganmu hancur lagi. Cinta itu memang tak bersyarat,
Lia, namun kau tetap harus bisa menganalisis setiap ada perkembangan dari
hubunganmu. Semua hubungan pasti memiliki pertanda, akan tetap diam di tempat ataukah
maju ke depan. Yang terpenting janganlah berikan hatimu seluruhnya, sisakan
untuk sebuah pembatas,” Dina berkata sambil memandang lurus ke depan. Ia dan
Liana saat ini sedang duduk berdua di bawah sebuah pohon angsana di antara padang
ilalang dan dandelion.
Liana melakukan hal
yang sama dengan Dina. Ia memandang lurus ke depan, matanya menerawang. Beberapa
batang bunga dandelion tampak bergoyang-goyang dan berhasil memikat matanya
sampai akhirnya ia berdiri dan melangkah untuk memetik bunga-bunga itu.
Mulutnya mengerucut dan meniup dandelion-dandelion yang ada dalam genggamannya.
Seketika bunga-bunga putih tipis itu terbang memenuhi udara di sekitar Liana. Ia
memandangi dandelion yang sudah terbang itu, dan berharap luka di hatinya akan
ikut luruh meskipun tak bisa ia pungkiri, jika nanti ia sudah siap kembali
membuka hati untuk laki-laki, sebuah benteng akan tetap ada di dalam hatinya. Liana
membutuhkan pembatas, sebuah garis tipis yang menjadi pemisah antara kebahagian
dan kesedihan mendalam.
No comments:
Post a Comment