Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Wednesday, September 25, 2013

Sebuah Benteng

“Tidakkah kau sadari sikapmu itu terlalu kaku dan dingin pada setiap lelaki, Lia?” Liana tersenyum samar ketika ia mendengar Dina, sahabatnya, selalu mengucapkan pertanyaan yang mungkin sudah berubah menjadi sebuah pernyataan sejak setahun silam. Meskipun Dina tahu apa yang akan Liana katakan setelah ia mengajukan pertanyaan itu, namun ia tetap mengajukannya.

“Apa yang kau harapkan untuk ku katakan, Din?” Liana nampak jemu. Terhitung sudah ratusan kali ia mendengar Dina selalu mengucapkan kalimat yang sama yang dipilih untuk memancingnya agar melupakan kejadian setahun silam terkait Romeo dan melangkah maju. Satu hal yang sampai saat ini belum bisa dilakukan oleh Liana.

Liana tersenyum getir, “aku tidak bisa, Din. Luka itu masih terasa baru.” Dina menepuk-nepuk bahu Liana, “Lia..Lia..kau masih tetap sama, ya. Masih saja bodoh seperti setahun lalu kalau urusan hati. Cinta itu butuh logika, Lia. Tak cukup hanya pakai hati.”

Liana merenung. Dina memang benar kadang-kadang. Atau malah seringkali benar, bukan hanya kadang-kadang. Liana pandai berlogika. Ia selalu bisa memecahkan masalah serumit apapun jika itu terkait penalaran. Liana juga berhati sensitif, hatinya sangat lembut, mudah tersentuh. Namun satu hal yang tak pernah berhasil ia lakukan, menggabungkan penggunaan logika dan hati secara bersamaan untuk menyelesaikan satu masalah. Liana selalu memisahkan keduanya. Baginya, baik logika maupun hati mempunyai jalannya sendiri-sendiri.

“Kalau kau berani melangkah dan menggunakan logikamu sekali saja, aku yakin hatimu tak akan sesakit ini jika kelak hubunganmu hancur lagi. Cinta itu memang tak bersyarat, Lia, namun kau tetap harus bisa menganalisis setiap ada perkembangan dari hubunganmu. Semua hubungan pasti memiliki pertanda, akan tetap diam di tempat ataukah maju ke depan. Yang terpenting janganlah berikan hatimu seluruhnya, sisakan untuk sebuah pembatas,” Dina berkata sambil memandang lurus ke depan. Ia dan Liana saat ini sedang duduk berdua di bawah sebuah pohon angsana di antara padang ilalang dan dandelion.


Liana melakukan hal yang sama dengan Dina. Ia memandang lurus ke depan, matanya menerawang. Beberapa batang bunga dandelion tampak bergoyang-goyang dan berhasil memikat matanya sampai akhirnya ia berdiri dan melangkah untuk memetik bunga-bunga itu. Mulutnya mengerucut dan meniup dandelion-dandelion yang ada dalam genggamannya. Seketika bunga-bunga putih tipis itu terbang memenuhi udara di sekitar Liana. Ia memandangi dandelion yang sudah terbang itu, dan berharap luka di hatinya akan ikut luruh meskipun tak bisa ia pungkiri, jika nanti ia sudah siap kembali membuka hati untuk laki-laki, sebuah benteng akan tetap ada di dalam hatinya. Liana membutuhkan pembatas, sebuah garis tipis yang menjadi pemisah antara kebahagian dan kesedihan mendalam. 

No comments:

Post a Comment