Kedua tangannya terentang, ia menarik napas dalam, panjang, dan pelan. Semilir angin laut menerpa wajah dan rambutnya yang terurai bebas hingga beberapa anak rambutnya mencapai matanya yang terpejam. Masih tampak jelas di pipinya garis-garis sisa air mata. Mungkin baru lima belas menit lalu ia menghapusnya dengan sembarangan hingga bekasnya tampak tak teratur.
Di kejauhan, terlihat seorang laki-laki memerhatikannya dengan seksama. Kedua tangannya berada dalam saku jas semi formalnya. Matanya tampak tak berkedip, seolah takut kehilangan momen berharga jika ia harus mengedipkan mata. Tatapan matanya tajam namun terlihat tersiksa. Jelas bahwa ia menanggung sebuah beban. Gayanya yang simple dengan jeans hitam, kaus, dan jas abu gelap sekilas membuatnya tampak maskulin. Namun tangannya yang sedikit gemetar--yang berhasil ia samarkan--meskipun tak terlihat, mampu menunjukkan jika ia menanggung sebuah beban.
Wanita itu perlahan membuka mata dan berjalan maju mendekati pembatas jembatan di depannya. Sejenak ia tertegun. Cahaya jingga yang memancar di ujung cakrawala dengan bias-bias kekuningan campur ungu yang hadir selalu bisa menyihir matanya. Tak ada ekspresi di wajahnya. Ia terdiam khidmat, mengagumi senja yang disuguhkan oleh sang pencipta. Baginya tak ada yang lebih berharga dibandingkan sedikit waktu yang ia punya untuk mengejar senja. Di manapun itu. Bersama siapapun itu. Meskipun seringkali ia hanyalah sendiri tanpa teman.
Laki-laki berjas abu masih setia berdiri dalam diam. Ia berdiri sangat jauh dari tempat si wanita menikmati senja. Kontur jalanan yang bergelombang dengan posisinya sekarang yang lebih rendah membuatnya dapat mengawasi si wanita dengan leluasa. Tempat si wanita berdiri saat ini merupakan titik tertinggi dari kawasan di sekitarnya. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sini. Yang jelas, ia akan selalu tiba terlebih dahulu sebelum si wanita datang dan melakukan ritualnya,menatap langit tanpa berkedip jika senja tiba. Laki-laki itu tak ingin melewatkan satu lagi momen yang jauh lebih berharga, momen ketika si wanita tanpa canggung mengeluarkan isakan, seolah ingin melepas segala beban yang ia rasakan. Momen yang selalu terjadi dua puluh menit menjelang senja.
Mentari perlahan menghilang di balik perbukitan panjang yang terletak di seberang laut di depan wanita berbaju ungu itu berdiri. Sebentar lagi gelap. Namun itu tak mengurangi niatnya untuk menikmati basahnya air laut bercampur pasir pantai yang masih terasa hangat. Wanita itu berjalan menyusuri tepian besi pembatas jembatan hingga berbelok di sebuah jalan sempit menuju pantai berpasir putih. Ia berjalan dengan kaki sedikit terendam air laut yang hangat. Butiran-butiran pasir menempel erat di telapak kakinya. Seolah tanpa tujuan ia terus berjalan, dan tanpa ia sadari--sekali lagi--air matanya jatuh bercampur dengan air.
Laki-laki yang sedari tadi memerhatikannya juga tampak berjalan pelan, berada beberapa meter di belakang wanita itu. Ia terlihat ingin menjaga jarak aman. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu wanita di depannya. Tanpa laki-laki itu melihat, ia tahu jika si wanita sedang menangis. Ia memejamkan mata dan tangannya yang bebas di samping tubuhnya tampak mengepal erat. Seharusnya tak seperti ini. Seharusnya ia tak membiarkan air mata wanita itu keluar tanpa sebuah alasan. Seharusnya ia mencegah agar wanita itu tak menangis sia-sia. Ia mampu. Sangat mampu malah. Terlebih ia sangat ingin. Menginginkan wanita itu kembali tersenyum. Senyum khasnya yang ayu, yang entah sudah hilang ke mana. Ia kesal terhadap dirinya sendiri, yang tak punya daya untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ia takut menyentuhnya. Menyentuh hati dan dunia si wanita. Ia takut kebekuan di hatinya justru akan membuatnya makin menyakiti hati lembut wanita itu. Berbagai macam hal berkecamuk dalam pikirannya. Hingga tanpa ia sadari, hari sudah benar-benar gelap, senja sudah berakhir, dan wanita yang sedari tadi berada di depannya seperti biasa sudah menghilang meninggalkan ia sendirian yang sedang berperang melawan egonya.
"Ketika ketakutan selalu datang,
Ketika kebekuan tak juga mencair,
Hingga keberanian tak pernah muncul,
Dan akhirnya hanya luka yang tersisa,
Karena sebuah kesempatan terlewati begitu saja."
Cha,
Rembang, 20 November 2014
Di kejauhan, terlihat seorang laki-laki memerhatikannya dengan seksama. Kedua tangannya berada dalam saku jas semi formalnya. Matanya tampak tak berkedip, seolah takut kehilangan momen berharga jika ia harus mengedipkan mata. Tatapan matanya tajam namun terlihat tersiksa. Jelas bahwa ia menanggung sebuah beban. Gayanya yang simple dengan jeans hitam, kaus, dan jas abu gelap sekilas membuatnya tampak maskulin. Namun tangannya yang sedikit gemetar--yang berhasil ia samarkan--meskipun tak terlihat, mampu menunjukkan jika ia menanggung sebuah beban.
Wanita itu perlahan membuka mata dan berjalan maju mendekati pembatas jembatan di depannya. Sejenak ia tertegun. Cahaya jingga yang memancar di ujung cakrawala dengan bias-bias kekuningan campur ungu yang hadir selalu bisa menyihir matanya. Tak ada ekspresi di wajahnya. Ia terdiam khidmat, mengagumi senja yang disuguhkan oleh sang pencipta. Baginya tak ada yang lebih berharga dibandingkan sedikit waktu yang ia punya untuk mengejar senja. Di manapun itu. Bersama siapapun itu. Meskipun seringkali ia hanyalah sendiri tanpa teman.
Laki-laki berjas abu masih setia berdiri dalam diam. Ia berdiri sangat jauh dari tempat si wanita menikmati senja. Kontur jalanan yang bergelombang dengan posisinya sekarang yang lebih rendah membuatnya dapat mengawasi si wanita dengan leluasa. Tempat si wanita berdiri saat ini merupakan titik tertinggi dari kawasan di sekitarnya. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sini. Yang jelas, ia akan selalu tiba terlebih dahulu sebelum si wanita datang dan melakukan ritualnya,menatap langit tanpa berkedip jika senja tiba. Laki-laki itu tak ingin melewatkan satu lagi momen yang jauh lebih berharga, momen ketika si wanita tanpa canggung mengeluarkan isakan, seolah ingin melepas segala beban yang ia rasakan. Momen yang selalu terjadi dua puluh menit menjelang senja.
Mentari perlahan menghilang di balik perbukitan panjang yang terletak di seberang laut di depan wanita berbaju ungu itu berdiri. Sebentar lagi gelap. Namun itu tak mengurangi niatnya untuk menikmati basahnya air laut bercampur pasir pantai yang masih terasa hangat. Wanita itu berjalan menyusuri tepian besi pembatas jembatan hingga berbelok di sebuah jalan sempit menuju pantai berpasir putih. Ia berjalan dengan kaki sedikit terendam air laut yang hangat. Butiran-butiran pasir menempel erat di telapak kakinya. Seolah tanpa tujuan ia terus berjalan, dan tanpa ia sadari--sekali lagi--air matanya jatuh bercampur dengan air.
Laki-laki yang sedari tadi memerhatikannya juga tampak berjalan pelan, berada beberapa meter di belakang wanita itu. Ia terlihat ingin menjaga jarak aman. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu wanita di depannya. Tanpa laki-laki itu melihat, ia tahu jika si wanita sedang menangis. Ia memejamkan mata dan tangannya yang bebas di samping tubuhnya tampak mengepal erat. Seharusnya tak seperti ini. Seharusnya ia tak membiarkan air mata wanita itu keluar tanpa sebuah alasan. Seharusnya ia mencegah agar wanita itu tak menangis sia-sia. Ia mampu. Sangat mampu malah. Terlebih ia sangat ingin. Menginginkan wanita itu kembali tersenyum. Senyum khasnya yang ayu, yang entah sudah hilang ke mana. Ia kesal terhadap dirinya sendiri, yang tak punya daya untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ia takut menyentuhnya. Menyentuh hati dan dunia si wanita. Ia takut kebekuan di hatinya justru akan membuatnya makin menyakiti hati lembut wanita itu. Berbagai macam hal berkecamuk dalam pikirannya. Hingga tanpa ia sadari, hari sudah benar-benar gelap, senja sudah berakhir, dan wanita yang sedari tadi berada di depannya seperti biasa sudah menghilang meninggalkan ia sendirian yang sedang berperang melawan egonya.
"Ketika ketakutan selalu datang,
Ketika kebekuan tak juga mencair,
Hingga keberanian tak pernah muncul,
Dan akhirnya hanya luka yang tersisa,
Karena sebuah kesempatan terlewati begitu saja."
Cha,
Rembang, 20 November 2014