“Mengapa kau begitu
menyukai malam?” Liana tersenyum kecut tiap mengingat pertanyaan yang selalu
diulang oleh semua orang di sekitarnya. Mengapa ia menyukai malam, matanya tak
pernah berhenti berbinar ketika dinginnya angin malam datang menerpa wajahnya,
apakah sangat susah dipahami oleh orang lain? Sementara tiap ada kesempatan ia
hampir selalu menjelaskan, hampir selalu menunjukkan alasan mengapa ia tak
pernah berhenti menyambut datangnya malam dengan sukacita.
“Ia hanya datang saat
malam hari. Lelaki itu, tak pernah menyapaku lagi begitu fajar tiba,” sambil
menelan ludah Liana mencoba menjawab pertanyaan dari salah satu sahabatnya. “Lelaki
macam apa yang hanya datang saat malam hari dan pergi begitu saja saat matahari
terbit?” Sungguh, Liana tak mampu menjawab kali ini. Nyatanya ia menyukai
lelaki itu, meski kadang hatinya terasa perih ketika menyadari bahwa ia akan
selalu diabaikan jika pagi datang menjelang.
“Liana, apakah kau
mencintainya?” Hatinya tertohok saat pertanyaan itu diajukan. Apakah perasaan
gembira dan nyaman yang selalu dirasakannya ketika bersama lelaki itu sudah
cukup untuk disebut cinta? “Sesungguhnya ia tak pernah pergi dari hidupku,”
kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.
“Tak pernah pergi kau
bilang? Lalu mengapa tak sekalipun ku lihat kau bersamanya di siang hari?” Kadang-kadang
Dina, sahabatnya sejak kecil itu, memang terlalu jeli mengamati segala
sesuatunya. “Ia hanya sedikit menjauh, Din, bukan pergi,” lagi-lagi Liana
membela lelaki itu. Sekali waktu hatinya memang pernah menanyakan pertanyaan
yang sama dengan yang Dina tanyakan. Apakah satu-satunya lelaki yang dengan
sungguh-sungguh bilang mencintainya itu memang sebenarnya bermaksud pergi dari
hidupnya, bukan sekedar menjauh?
“Kau bodoh, Lia. Cinta tak
pernah mengenal waktu. Jika lelaki itu hanya sudi bersamamu saat malam hari,
maka ia tak sepenuhnya mencintaimu. Camkan itu!” Liana sedikit bergidik ketika
mendengar ucapan Dina. “Hampir seribu malam aku telah bersamanya, Din. Aku percaya
ia mencintaiku lebih dari apapun.” Liana tak menyangka jika respon yang ia
dapatkan dari Dina adalah tawa mengejek. “Lebih dari apapun kau bilang? Lalu kehidupan
macam apa yang orang asing itu jalani di siang hari hingga harus mengabaikanmu?”
Dina mengungkapkan satu lagi kenyataan yang tak pernah ingin Liana ungkap
sebelumnya. Kehidupan lain lelakinya.
Satu minggu setelah percakapan
Liana dengan Dina. Lelaki itu, Romeonya, masih tetap datang di malam-malamnya
yang gelap. Meski Liana sempat ragu, namun ia berusaha menekan perasaannya. Ia
mengingkari hatinya yang membisikkan bahwa Romeo ingin meninggalkannya, hingga
suatu siang menjelaskan semuanya.
Saat itu Liana baru
saja keluar dari sebuah coffee shop.
Kebiasaannya ketika keluar dari suatu tempat dan mulai berjalan menyusuri
trotoar adalah mengawasi sekitar. Entah apa yang membuatnya harus melakukan hal
itu, tapi instingnya selalu memerintahkan dirinya untuk melalukannya.
Pandangannya seketika berhenti pada satu titik, matanya terkunci pada sebuah
objek yang ia yakin tak pernah ingin melihatnya. Romeo, lelaki satu-satunya
yang selalu dicintainya, berjalan pelan di seberang jalan tempatnya berdiri
saat ini, dengan salah satu lengannya melingkari pinggang seorang wanita dengan
posesif. Kepala lelaki itu menoleh ke arahnya, bibirnya mengembangkan sebuah
senyum permintaan maaf. Liana dapat merasakan seluruh badannya menggigil, namun
kakinya seolah tak mau digerakkan dan tetap membeku di tempatnya berdiri. Ia
ingat semuanya, percakapan dan perlakuan Romeo padanya tadi malam. Firasat yang
ia rasakan adalah sebuah alarm dari hatinya, pertanda yang ia tetapkan sendiri
dan akan memperingatkannya ketika seorang lelaki akan menyakitinya, namun alarm
itu terus ia abaikan ketika Romeo ada bersamanya.
Malam sebelumnya. “Romeo,
mengapa kau datang terlambat malam ini?” Liana hampir saja pergi meninggalkan
sebuah padang rumput tempatnya biasa bertemu dengan lelakinya. Romeo hanya
tersenyum dan berusaha menggenggam erat tangannya. “Maafkan aku Lia,” hanya
kata itu yang Liana dengar. Untuk kesekian kalinya Liana memaafkan Romeo begitu
saja tanpa alasan. “Tak apalah, yang terpenting kita masih sempat melihat
bintang. Untung malam ini hujan tidak datang, padahal ketika menunggumu datang
tadi, aku merasakan dinginnya angin sampai menusuk tulangku. Mungkin alam masih
berpihak pada kita, Romeo,” bersama lelaki yang dicintainya, itulah yang ia
inginkan saat ini. Romeo duduk di rumput, di sebelahnya. Tangannya dengan
lembut meraih kepala Liana, meletakkannya di bahu kokoh yang selalu membuatnya
nyaman Liana. “Lia, kau adalah satu-satunya wanita yang pernah aku impikan. Segala
yang ada pada dirimu adalah hal yang tak pernah aku bayangkan bisa ku dapatkan.
Kalau aku bisa memilih, aku akan selalu bersamamu,” Romeo berkata lirih, dan
Liana telah larut dalam kenyamanan hingga otaknya hanya menyerap, tak mampu
memproses apa yang baru saja diucapkan oleh Romeo. Liana tak pernah menyadari jika
saat itulah malam terakhirnya bersama lelaki yang pernah mengaku mencintainya.
Liana hanya mimpi bagi
Romeo. Sebuah impian yang tak harus ia pilih karena ada suatu realitas dalam
kehidupannya. Kekasih dan segala sesuatu yang sudah ia miliki saat ini tak akan
mampu ia tinggalkan untuk sekedar memilih Liana. Liana memang indah, tapi bagi
Romeo, ia hanyalah seorang wanita yang diperlukan kehadirannya saat malam hari,
tepat di waktu kekasih realnya masih
berpacu dalam ego dan ambisinya. Liana bukan wanita yang dapat Romeo andalkan
di siang hari, karena sifat feminin
yang melekat pada dirinya hanyalah akan menjadi sebuah ganjalan bagi
langkahnya. Mimpi tak harus ia dapatkan, namun realita harus ia pertahankan,
meski sudah pasti ada sebuah hal yang dikorbankan, perasaan Liana. Romeo hanya
punya keyakinan bahwa suatu saat nanti Liana tak lagi bertemu dengan sosok
lelaki seperti dirinya, yang hanya mampu menerima keindahan diri Liana.
No comments:
Post a Comment