Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Thursday, November 20, 2014

Di Ujung Senja

Kedua tangannya terentang, ia menarik napas dalam, panjang, dan pelan. Semilir angin laut menerpa wajah dan rambutnya yang terurai bebas hingga beberapa anak rambutnya mencapai matanya yang terpejam. Masih tampak jelas di pipinya garis-garis sisa air mata. Mungkin baru lima belas menit lalu ia menghapusnya dengan sembarangan hingga bekasnya tampak tak teratur.

Di kejauhan, terlihat seorang laki-laki memerhatikannya dengan seksama. Kedua tangannya berada dalam saku jas semi formalnya. Matanya tampak tak berkedip, seolah takut kehilangan momen berharga jika ia harus mengedipkan mata. Tatapan matanya tajam namun terlihat tersiksa. Jelas bahwa ia menanggung sebuah beban. Gayanya yang simple dengan jeans hitam, kaus, dan jas abu gelap sekilas membuatnya tampak maskulin. Namun tangannya yang sedikit gemetar--yang berhasil ia samarkan--meskipun tak terlihat, mampu menunjukkan jika ia menanggung sebuah beban.

Wanita itu perlahan membuka mata dan berjalan maju mendekati pembatas jembatan di depannya. Sejenak ia tertegun. Cahaya jingga yang memancar di ujung cakrawala dengan bias-bias kekuningan campur ungu yang hadir selalu bisa menyihir matanya. Tak ada ekspresi di wajahnya. Ia terdiam khidmat, mengagumi senja yang disuguhkan oleh sang pencipta. Baginya tak ada yang lebih berharga dibandingkan sedikit waktu yang ia punya untuk mengejar senja. Di manapun itu. Bersama siapapun itu. Meskipun seringkali ia hanyalah sendiri tanpa teman.

Laki-laki berjas abu masih setia berdiri dalam diam. Ia berdiri sangat jauh dari tempat si wanita menikmati senja. Kontur jalanan yang bergelombang dengan posisinya sekarang yang lebih rendah membuatnya dapat mengawasi si wanita dengan leluasa. Tempat si wanita berdiri saat ini merupakan titik tertinggi dari kawasan di sekitarnya. Entah sudah berapa lama ia berdiri di sini. Yang jelas, ia akan selalu tiba terlebih dahulu sebelum si wanita datang dan melakukan ritualnya,menatap langit tanpa berkedip jika senja tiba. Laki-laki itu tak ingin melewatkan satu lagi momen yang jauh lebih berharga, momen ketika si wanita tanpa canggung mengeluarkan isakan, seolah ingin melepas segala beban yang ia rasakan. Momen yang selalu terjadi dua puluh menit menjelang senja.

Mentari perlahan menghilang di balik perbukitan panjang yang terletak di seberang laut di depan wanita berbaju ungu itu berdiri. Sebentar lagi gelap. Namun itu tak mengurangi niatnya untuk menikmati basahnya air laut bercampur pasir pantai yang masih terasa hangat. Wanita itu berjalan menyusuri tepian besi pembatas jembatan hingga berbelok di sebuah jalan sempit menuju pantai berpasir putih. Ia berjalan dengan kaki sedikit terendam air laut yang hangat. Butiran-butiran pasir menempel erat di telapak kakinya. Seolah tanpa tujuan ia terus berjalan, dan tanpa ia sadari--sekali lagi--air matanya jatuh bercampur dengan air.

Laki-laki yang sedari tadi memerhatikannya juga tampak berjalan pelan, berada beberapa meter di belakang wanita itu. Ia terlihat ingin menjaga jarak aman. Ia tak ingin kehadirannya mengganggu wanita di depannya. Tanpa laki-laki itu melihat, ia tahu jika si wanita sedang menangis. Ia memejamkan mata dan tangannya yang bebas di samping tubuhnya tampak mengepal erat. Seharusnya tak seperti ini. Seharusnya ia tak membiarkan air mata wanita itu keluar tanpa sebuah alasan. Seharusnya ia mencegah agar wanita itu tak menangis sia-sia. Ia mampu. Sangat mampu malah. Terlebih ia sangat ingin. Menginginkan wanita itu kembali tersenyum. Senyum khasnya yang ayu, yang entah sudah hilang ke mana. Ia kesal terhadap dirinya sendiri, yang tak punya daya untuk melakukan apa yang seharusnya ia lakukan. Ia takut menyentuhnya. Menyentuh hati dan dunia si wanita. Ia takut kebekuan di hatinya justru akan membuatnya makin menyakiti hati lembut wanita itu. Berbagai macam hal berkecamuk dalam pikirannya. Hingga tanpa ia sadari, hari sudah benar-benar gelap, senja sudah berakhir, dan wanita yang sedari tadi berada di depannya seperti biasa sudah menghilang meninggalkan ia sendirian yang sedang berperang melawan egonya.


"Ketika ketakutan selalu datang,
Ketika kebekuan tak juga mencair,
Hingga keberanian tak pernah muncul,
Dan akhirnya hanya luka yang tersisa,
Karena sebuah kesempatan terlewati begitu saja."

Cha,
Rembang, 20 November 2014

Saturday, November 15, 2014

Bougenville dan Rinai Gerimis

"Kamu mau ke mana, Na? Jangan lari terus, nanti terpeleset."

Suara itu masih terdengar jelas hingga Nada semakin menjauh. Ia tak menoleh, dan juga tak berhenti untuk menjawab pertanyaan Nova. Langkahnya terus dipercepat, seolah bersaing dengan tetesan air yang semakin kerap jatuh dari langit, dan mengiringi cairan hangat yang mengalir membasahi pipinya. Tangannya beberapa kali berusaha mengusap pipinya dan nampaklah jelas kalau tangannya bergetar.

Nada tak menyadari sudah berapa jauh ia berlari, dan rinai gerimis sudah menjelma menjadi guyuran hujan deras. Rok selutut yang tadinya mengembang tertiup angin ketika ia berlari, kini basah kuyup dan menempel ketat di tubuhnya. Baju biru benhur yang ia kenakan juga tak kalah basahnya.

Seketika langkahnya terhenti saat ia melihat pohon bougenville dengan daunnya yang rimbun di sisi kanan jalan. Dalam hati Nada bergumam, mungkin pohon itu bisa dijadikan tempat buat berteduh. Dan ia pun berjalan pelan, mencoba mencari posisi di antara dahan-dahan pohon bougenville yang menjulur ke mana-mana. Ia menoleh ke arah kanan-kiri, tak tampak seorangpun yang terlihat.

Isak tangisnya tak juga berhenti bahkan sampai hujan deras kembali berubah menjadi rinai gerimis. Angin sepoi menerpa beberapa bunga bougenville merah yang bergerak-gerak tepat di depan wajahnya. Tanpa diperintah jemari tangan kanannya meraih beberapa gerombol bunga yang sedikit basah. Ia berusaha menarik bunga itu dari dahannya. Namun tiba-tiba rasa perih menjalari jari manisnya, dan Nada meneriakkan kata 'aduh'. Dengan sedikit sentakan ia menarik kembali jemarinya. Ujung jari manisnya berdarah. Mungkin terkena duri. Ia menghisap jarinya, berharap perihnya segera menghilang.

Hampir dua jam Nada diam di antara dahan-dahan bougenville. Ia enggan pulang. Ia masih belum sanggup untuk kembali tersenyum dan tertawa. Sejenak ia memejamkan mata dan menengadahkan wajahnya ke arah langit. Ia menarik napas dalam dan perlahan menghembuskan udara segar yang memenuhi paru-parunya. Ia menahan agar air matanya tak lagi keluar. Yang ia butuhkan saat ini adalah penguatan. Ia harus bisa menguatkan hatinya sendiri. Mungkin setelah ini hidupnya akan terasa berbeda. Namun ia tak boleh lemah. Ia harus bisa bertahan dan terus tumbuh normal layaknya anak seusianya yang baru berumur 10 tahun.

Dengan langkah gontai Nada berjalan pulang. Dan mungkin sejak itulah ada selapis benteng yang mengelilingi hati. Mungkin jika ia dewasa kelak, ia akan tumbuh menjadi wanita yang keras hatinya, karena sesungguhnya ia tak ingin membiarkan seorangpun tahu betapa rapuhnya dirinya.


"Setiap momen yang tercipta tak mungkin terlupa begitu saja,
Momen bahagia mungkin akan dengan mudah diingat,
Namun momen sedih yang melukai hati seorang bocah tak perlu upaya kuat untuk diingat,
Dengan sendirinya luka itu akan terus terasa,
Bahkan jika mungkin datang kebahagiaan sekalipun,
Dibutuhkan jiwa yang besar untuk menerima dan menghapus perihnya."

Cha,
Rembang, 16 November 2014

Sunday, November 2, 2014

Tentang Sebuah Kata Bernama Kecewa

"Sampai kapan kamu akan menunggunya?"

Seorang gadis berusia 18 tahunan tampak termenung dan tak mempedulikan ucapan sahabatnya. Mereka berdua tengah duduk di tepi danau yang sedikit keruh namun banyaknya pepohonan membuat tempat itu sering dikunjungi orang.

Naina namanya. Usianya belum genap 19 tahun. Sudah hampir beberapa bulan ini matanya selalu terlihat sembab, terlebih ketika pagi menjelang. Zia--gadis lain yang duduk di sebelahnya--sekali lagi memerhatikannya dengan seksama.

"Kapan terakhir kali kamu makan nasi?"

Pertanyaan itu mampu membuat Naina menoleh dan mengalihkan pandangannya dari buih-buih air danau. Ia tersenyum sekilas, menatap Zia dengan tatapan meminta maaf yang ditanggapi Zia dengan beberapa kali gelengan kepala sebuah pertanda kalau Zia sedang kesal.

"Jadi roti atau pop mie? Tanpa susu juga?"

Naina akan membuka mulut untuk menjawab pertanyaan Zia namun terhenti ketika Zia memanggil seorang tukang Siomay yang lewat di depan mereka. Naina ingin protes. Ia belum lapar, atau mungkin malah tidak lapar sama sekali. Namun ia paham betul perangai sahabatnya itu yang tak akan membiarkannya pulang begitu saja sebelum ia memakan sesuatu. Akhirnya ia memilih mengalah. Toh nanti malam ia juga belum tentu makan, tak apa jika siang ini ia mengganjal perutnya dengan seporsi siomay.

"Zia, ada abang penjual es doger itu.."

Naina menunjuk ke arah utara dan ekor mata Zia mengikuti ke mana jari Naina menunjuk. Terlihat abang penjual es doger langganan mereka berjalan pelan  dari arah masjid kampus, menyusuri tepian danau dan menuju ke arah mereka. Zia tersenyum penuh arti, tampak ia mengerti dengan maksud Naina.

"Kemarin aku beli sama si Dian, diskon 1500..Hahaha..Sekarang mau nguji peruntungan lagi nggak?"

Zia mengeluarkan dua lembar uang lima ribuan kepada penjual siomay dan menerima dua bungkus siomay, kemudian memberikan salah satunya kepada sahabatnya. Naina memerhatikan sekilas sebungkus siomay yang kini ada di tangannya. Kentang, tahu, kubis, siomay, tanpa otak-otak. Ia menepuk bahu Zia  beberapa kali yang direspon dengan senyuman lebar sahabatnya itu.

"Bang, satu di plastik, satu lagi di gelas ya..."

Naina memesan dua ketika si abang penjual es doger berhenti tepat di samping Zia. Abangnya tersenyum dan dengan cekatan membuat es pesanan mereka. Es yang di plastik tanpa tape dan ekstra susu. Setelah mereka menerima pesanan mereka, si abang kembali berjalan mengelilingi danau. Setengah jam lagi abangnya akan kembali menghampiri mereka untuk mengambil gelas, seperti biasanya.

"Aku nyobain tapenya dong..dikit aja, boleh?"

Naina menampilkan wajah memelas khasnya yang selalu bisa membuat Zia mengabulkan apapun itu yang menjadi permintaannya. Setelah Naina mengambil sepotong tape yang ada di gelas Zia, mereka berdua sesaat terdiam. Mungkin larut dalam pikiran masing-masing. Hingga sebuah pernyataan terlontar dari mulut Naina.

"Februari sudah hampir berakhir, Zia. Meskipun begitu, bisakah aku menyerah begitu saja jika hatiku mengatakan bahwa aku masih harus menunggunya? Hal apalagi yang harus aku perbuat?"

Zia menghela napas panjang, tidak langsung menanggapi perkataan Naina. Ia tak ingin menyakiti hati sahabatnya. Biasanya ia dengan lembut akan langsung menyuruh Naina untuk berhenti berharap. Namun kali ini ia tak ingin seperti itu. Naina tak akan mengubah keputusannya bahkan mungkin jika sampai setahun lagi lelaki itu tak juga muncul, Naina akan tetap bertahan. Zia paham betul Naina seperti apa. Ia tak setega Naya yang akan mengatakan kepada Naina untuk mencari pengganti lelaki itu.

"Seberapa besar kamu menyayanginya, Na?"

Naina terdiam cukup lama. Segala macam pertanyaan dan rentetan peristiwa tujuh bulan belakangan ini memenuhi otaknya. Seberapa besar ia menyayangi lelaki itu, yang bahkan wajahnya pun dulu sempat tak ia ingat? Berapa kali ia merasakan sebuah kekecawaan atas sikapnya selama ini? Apakah besarnya rasa sayang yang ia miliki sanggup untuk menghapus semua rasa kecewa yang ia rasakan?

"Mungkin memang aku yang salah. Seharusnya aku tak mengingkari janjiku akhir tahun lalu untuk menemuinya. Pasti dia kecewa, Zia."

Pernyataan menyalahkan diri sendiri. Zia hafal di luar kepala dengan kalimat yang selalu diucapkan Naina hampir tiga bulan ini.

"Biarlah aku telan semua rasa kecewa ini, Zia. Aku yakin suatu saat nanti dia akan mengerti bahwa aku selalu menunggunya. Aku ingin memercayainya, sekali lagi."

Zia menoleh sekilas dan mendapati mata Naina berkaca-kaca. Ia mengelus pelan punggung sahabatnya itu sambil memerhatikan dengan seksama raut wajah Naina. Sahabat baiknya yang selalu tampak ceria, tiba-tiba menjadi pemurung. Wajahnya putih pucat dan lingkar matanya hitam sekali. Zia kembali menyadari sesuatu ketika ia melihat baju yang dikenakan Naina sangat longgar.

"Berat badanmu turun lagi. Besok pagi bawa baju ganti sama buku buat hari Senin sekalian, selesai beresin tugas nginap aja di tempatku ya."

Naina mengangguk tanpa menoleh. Ia berusaha keras untuk menahan agar air matanya tak keluar.

***

"Seringkali kita berpikir bahwa menelan segala rasa kecewa akan membuat sebuah hubungan yang tadinya berantakan kembali baik-baik saja. Kita lupa memikirkan jika rasa kecewa yang kita telan terlalu banyak, maka rasa sayang yang kita rasakan juga akan memudar sedikit demi sedikit." (Momen sabtu sore,di tepian danau,dengan semilir angin yang tak berhenti menerpa)


Ketika rasa kecewa menghapus segalanya,
Menghilangkan yang telah berlalu,
Namun tak menghalangi rasa lain yang diam-diam merasuki jiwa.

Cha,
Rembang, 02 November 2014