“Aku mau jadi dokter...”
“Aku mau jadi pilot...”
“Aku mau jadi
pramugari...”
Suara puluhan anak
kecil itu kembali menggema di telingaku, ketika ku ingat lagi kenangan yang
telah lama melekat di benakku. Cita-cita, itulah topik yang sedang dibicarakan
dan ditanyakan oleh seorang guru di sebuah Sekolah Dasar tempatku belajar 17
tahun lalu.
Kadang kala aku tetap
masih ingin tertawa jika mengingatnya, meskipun tak jarang juga ingin menangis.
Aku tak sama dengan kebanyakan anak-anak kecil lainnya, aku tak mempunyai mimpi
dan cita-cita yang sama dengan mereka. Aku ingin menjadi pengarang. Pengarang
sebuah cerita yang disatukan dalam bentuk buku.
Adakah yang salah
dengan mimpiku?
Pertanyaan itu terus
menggelayuti pikiranku selama puluhan tahun, hingga akhirnya setelah aku mampu berlogika
secara realistis, aku tahu mengapa sebagian besar orang dewasa menganggap
mimpiku sebagai sebuah kesalahan. Sekali lagi, semua bersumber dari sebuah
prospek dan masa depan, suatu hal yang belum aku pedulikan kala itu, waktu
usiaku belum genap 6 tahun.
Tumpukan puluhan buku,
majalah, dan koran, mungkin itulah yang memicu diriku untuk terus membaca. Kolom
ekonomi di salah satu halaman koran, entah mengapa mampu menarik perhatianku
untuk ku baca di usia sekecil itu. Meskipun aku tidak bisa memahami makna
bacaan tersebut, aku tetap terus membaca dan membaca setiap hari.
Calon Arang, itulah
cerita rakyat yang aku baca pertama kalinya dan aku buat sinopsisnya saat
usiaku belum genap 12 tahun. Hikayat Melayu, cerita roman seperti Siti Nurbaya,
Layar Terkembang, Salah Asuhan, dan lainnya, hingga buku Habis Gelap Terbitlah
Terang, merupakan sebagian buku yang telah aku habiskan saat berada di Sekolah
Menengah Pertama.
Aku membaca,
berimaginasi, dan tanpa sadar mencoba untuk menulis, meskipun waktu itu hanya
sebatas coretan-coretan cerita picisan yang tak pernah aku coba kirimkan ke
media manapun.
Mungkin, jika bukan
fiksi, kesempatan itu akan hadir dengan mudah dan tak mungkin ku lewatkan
begitu saja. Namun mimpiku adalah hal yang lain, hal yang berbeda dari bayangan
mereka.
Aku ingin menciptakan
sebuah dunia kecil, dunia yang bisa aku atur sesuai kata hatiku, dan akan terus
dikenang oleh mereka yang tak pernah mengerti arti sebuah mimpi bagi seorang
anak kecil.
Aku akan terus
mengejar, meski waktu juga terus memburuku, mencoba mengalihkanku kepada
mimpi-mimpi yang lain.
Menulis
adalah jiwa, tanpanya hati akan terasa kering.
No comments:
Post a Comment