Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Wednesday, February 15, 2017

A Cup of Espresso

PART 1

Satu tangannya berkali-kali mengetuk cangkir di meja dengan sendok kecil, sedang tangan yang lainnya menopang dagu dengan sikunya berada di meja. Matanya tak berkedip, seolah terlihat menerawang jauh menembus batas pemikiran yang tak seharusnya ia pikirkan ketika embun pagi bahkan masih bisa diraba oleh jemarinya. Hampir enam puluh menit lamanya wanita itu bertahan dalam posisi yang sama, seolah waktu tak berjalan dan tubuhnya tak merasa lelah diam dalam satu posisi tersebut.

***
[ When I see your face There’s not a thing that I would change Cause you’re amazing Just the way you are

And when you smile The whole world stops and stares for a while Cause girl you’re amazing Just the way you are ]

(Cuplikan lirik lagu “Just The Way You Are” oleh Bruno Mars)

Sementara itu, seorang pria berkemeja putih dengan celana jeans hitam tampak telah lama memerhatikannya dari luar etalase coffee shop. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, matanya meneliti dengan detail sebuah gelang yang terpasang cantik di pergelangan tangan wanita di dalam coffee shop tersebut. Gelang yang diyakininya berbahan dasar perak meskipun tak dilihatnya dari dekat. Rantainya kecil dan halus, dengan beberapa hiasan yang tergantung, ada bunga lily, bintang, dan bulan sabit.

Pria berambut cokelat itu sekali lagi tampak tak beranjak dari tempatnya berdiri ketika matanya yang juga berwarna cokelat, jeli menemukan keindahan lain dari objek yang ditatapnya sejak tadi. Kalung berantai halus dengan liontin agak besar yang sedikit menjuntai melewati leher wanita di dalam coffee shop seolah menyihir matanya untuk tak berkedip dan berusaha mengeja huruf demi huruf yang membentuk satu kesatuan menjadi sebuah liontin dan sebuah kata. M-A-N-D-I-R-A. Berkali-kali mulutnya mengucapkan kata itu. Meskipun ia tidak atau mungkin belum tahu apa arti kata tersebut, namun ia percaya bahwa MANDIRA bukan hanya sekedar kata tanpa makna, terbukti dari penggunaannya sebagai liontin sebuah kalung.

Mario Ricci mengutuki ingatannya sendiri karena kelalaiannya membawa kamera saku yang seringkali dipakainya untuk mengambil potret dari hal-hal yang membuat matanya tertarik ketika dirinya menyusuri setiap jalanan di kota Jogja. Akibat kelalaiannya itu, ia tak bisa mengabadikan momen langka di depannya yang mungkin suatu saat nanti bisa menjadi inspirasi untuk membuat desain perhiasan. Inspirasi, satu hal penting yang selalu dibutuhkan oleh Mario untuk melakukan setiap pekerjaannya, termasuk membuat desain perhiasan. Dirinya termenung, seolah baru saja menyadari jika sudah hampir 3 tahun, sejak kejadian kelam di masa lalunya, ia hampir tak pernah sekalipun menjumpai sesuatu yang bisa disebut sebagai sebuah inspirasi, hingga akhirnya ia lebih memilih menenggelamkan dirinya ke dalam bisnis investasi perak, bukan lagi membuat desain.

***

Mandira tersentak, sadar dari lamunan panjangnya ketika tiba-tiba dering ponselnya berbunyi, meraung-raung meminta untuk segera diangkat. Wajahnya kembali murung setelah melihat siapa yang meneleponnya. Bukan seseorang yang masih ditunggunya, seseorang yang pernah bersamanya dan melukiskan sebuah kisah indah sampai 3 tahun silam, meskipun pada akhirnya hanya menyisakan perih di hatinya. Dengan enggan jarinya memencet tombol ‘jawab’ dan berbicara dengan orang yang meneleponnya. Tanpa melebarkan mulutnya, ia sedikit tersenyum, senyuman dalam keterpaksaan, karena meskipun hatinya terasa perih ia tetap harus memaksakan seulas senyum kecil ketika berbicara di telepon dengan orang tuanya.

***

[Yogyakarta, Malam Tahun Baru ─ Tiga tahun sebelumnya]

[Di jalan ini pernah ku gandeng tanganmu dengan keremajaan yang meraibkan kota.
Kau kuajak mengembarai malam,
saling bicara dalam bahasa isyarat yang diiringi berbagai langgam,
dan menerjemahkan diam sebagai satu-satunya alasan,
bahwa tersesat di sini adalah suatu keharusan.

Mungkin cinta belum ku kenali, tapi hati tiba-tiba kehilangan sepi.
Bersama bunga-bunga di bajumu yang bermekaran, aku menghirup kecantikanmu,
seperti kereta menghisap penumpang di stasiun Tugu.
Lalu kita saling meruncingkan bulu mata,
dan melengkapi malam dengan selarik puisi cinta.

Sepanjang Malioboro yang bising, di malam tahun baru yang disesaki angin.
Aku masih mengasuh rambut ikalmu dalam kelu,
ketika kau memilin dan mengasapi biji-biji rindu.
Tiba-tiba kita meleleh di antara jerit terompet dan detik-detik yang ketat,
sampai cinta mengerut di sisa tahun yang terjepit.

Nyaris saja usia 19 menyilangkan nasib ke rahim waktu.
Tapi kita terlanjur memeram cinta dalam kebisuan, 
seperti rel yang bergandengan,
dengan pertemuan yang menyakitkan.
Sedang sebaris senyummu selalu mencongkel hari-hariku,
di sepanjang Malioboro yang mengular waktu di hatiku.

Sungguh...
Setahun silam masih menyala, diminyaki kenangan yang mendedah.]

(“Sepanjang Malioboro”, Majalah Horizon, 2008)

Suasana malam tahun baru di  kawasan Malioboro selalu meriah, penuh dengan riuh rendah jeritan dan sorakan muda mudi yang merasa gembira ketika menyaksikan puluhan atau bahkan ratusan kembang api dinyalakan menjelang detik-detik mulainya tanggal 1 Januari.
Mandira masih menggamit lengan Hans karena takut terpisah di tengah-tengah kerumunan dan desakan banyak orang yang ikut serta merayakan malam tahun baru di Malioboro. “Dik, kamu masih suka sama kembang api, kan?” Hans akhirnya mampu mengeluarkan suaranya meskipun memang dibutuhkan tenaga ekstra karena setiap orang di sini mengeluarkan berbagai macam suara dan tawa. Dengan sedikit mengernyit, Mandira menoleh ke arah Hans yang langsung disambut dengan senyum lebar khasnya, “Mengapa tiba-tiba bertanya seperti itu, Hans? Kamu tahu aku akan selalu suka sama kembang api, terlebih karena sekarang sangat susah untuk melihat bintang di langit.” Mandira tak pernah sekalipun memanggil Hans dengan sebutan kakak, mas, ataupun sebutan lain yang biasa digunakan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Meskipun begitu, Hans selalu memanggilnya adik. Kata Hans, dengan memanggil Mandira seperti itu membuatnya semakin sayang kepada Mandira.

Langit malam ini mendung, sama halnya dengan malam-malam sebelumnya. Padahal sudah hampir dua pekan Mandira menghentikan ritualnya, melihat bintang di malam hari, yang menurut Hans merupakan hal sia-sia karena meskipun dilihat sampai matanya lelah, bentuk dan sinarnya tidak akan pernah berubah, akan selalu sama sampai akhir masa. Mandira sekarang sedang merindu. Jika tidak melihat bintang satu malam saja dia akan kesulitan untuk memejamkan mata. Untung saja dia berhasil memaksa Hans ikut merayakan malam pergantian tahun baru di Malioboro, meskipun bisa saja mereka membeli kembang api sendiri dan merayakannya di rumah kontrakan Hans di daerah Monjali. Namun menurut Mandira dua hal itu jelas berbeda, menikmati keramaian dan cahaya kembang api di Malioboro akan membuatnya tertawa lepas, sedang jika memilih menyalakan kembang api berdua saja pasti akan dibatasi dengan sikap kaku Hans, tidak selepas di tengah keramaian.

Hans Tedjokusumo. Laki-laki berdarah Jawa-Cina ini telah dua tahun menghiasi hari-hari Mandira. Siapapun yang melihat Hans tidak akan menyangka bahwa dia berumur 22 tahun, karena pipinya yang sedikit chubby, kulit putih, dan senyum ramahnya seolah menyiratkan bahwa umurnya baru menginjak 19 tahun, sama seperti Mandira. Satu-satunya hal yang menegaskan bahwa Hans lebih tua dari Mandira adalah kacamata minus serta panggilan kesayangannya terhadap Mandira, ‘adik’.

“Setelah ini kita mau ke mana?” Pertanyaan Hans mengagetkan Mandira dan menyeretnya kembali ke dunia nyata. Mandira melamun lagi. Kebiasaan yang selalu ia lakukan saat berada di sisi Hans dan memikirkan bahwa dirinya tidak mempunyai mimpi sehebat kekasihnya itu. “Aku ingin makan klepon, Hans...”, lagi-lagi Mandira merajuk serta memamerkan deretan giginya yang tampak putih dan rapi, tersenyum lebar. Senyum yang membuat Hans tidak bisa berkutik, tidak pernah bisa menolak setiap keinginan Mandira.
Sesekali Hans melirik Mandira saat mereka berdua menyusuri jalanan menuju pasar Beringharjo. Saat ada event-event tertentu, penjual jajanan dan makanan di luar pintu masuk pasar tersebut seringkali membuka kiosnya sampai jauh larut malam. Hans melihat Mandira menyandarkan kepala di bahunya, bibirnya dihiasi senyum kebahagiaan. Hatinya goyah. Tegakah dia membuat gadis seceria Mandira kehilangan kebahagiaan masa mudanya? Terlebih jika penyebab hal tersebut haruslah dirinya.

“Hans, benarkah kamu masih belum membuat rencana terkait apa yang akan kamu lakukan setelah lulus nanti?” Mandira berusaha hati-hati dan berbicara sepelan mungkin, bahkan ucapannya hampir terdengar seperti bisikan di telinganya sendiri. Lain halnya dengan Hans. Meskipun ia sudah memperkirakan bahwa suatu saat pasti Mandira akan menanyakan tentang hal tersebut, namun ia tak menduga jika pertanyaan tersebut diajukan sekarang, di saat mereka sedang menikmati salah satu momen bahagia.

Raut muka Hans dalam sekejap berubah, dari rona bahagia menjadi murung. Untung saja Mandira tidak dapat melihatnya saat ini karena masih asyik bersandar di bahunya dengan posisi wajah menatap lurus ke jalan. Setelah beberapa menit hening, tidak ada satupun dari keduanya yang mengeluarkan suara, Hans lebih dulu menguasai keadaan. “Aku kan belum sidang skripsi, dik. Jadi untuk sekarang ini masih bisa santai kan? Kelulusan masih empat bulan lagi, masih ada banyak waktu untuk merancang rencana,” meski sedikit terbata-bata, Hans sanggup menyelesaikan ucapannya.

Tubuh Hans sedikit menegang ketika Mandira tiba-tiba menarik diri dari lengannya dan tersenyum lebar tepat di dekat wajahnya. “Jadi intinya kamu masih belum membuat rencana, kan? Berarti kita masih bisa bersama-sama dan kamu akan tetap tinggal di Jogja?” Seketika Hans membeku, tidak dapat berpikir apa yang harus diucapkannya atas pertanyaan Mandira. Mulutnya baru saja sedikit terbuka hendak mengucapkan sesuatu ketika matanya melihat deretan penjual jajanan beberapa meter di depannya penuh sesak dengan pembeli.

Pengalihan. Itu yang terpikir pertama kali olehnya. “Dik, kamu tunggu di sini saja ya, antriannya panjang dan penjual klepon di depan sana dikerubuti oleh banyak orang. Biar aku saja yang membelinya untuk kita,” tangannya menunjuk ke salah satu penjual klepon langganan mereka, sedikit tergesa karena ia takut Mandira melihat tangannya yang gemetaran. Hans mengembuskan napas lega ketika Mandira tidak mendebat perkataannya seperti biasa dan lebih memilih untuk menganggukkan kepalanya.

***
[Satu minggu setelah malam tahun baru]

Hari masih terlalu pagi ketika Mandira secara tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Sudah genap satu minggu ini kebiasaan tidurnya menjadi aneh, berubah polanya karena satu alasan, dan alasan itu adalah ketiadaan Hans yang biasanya menemaninya lewat telepon hingga ia tertidur. Matanya melirik jam meja yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Masih pukul 3 dini hari.

Lima belas menit telah berlalu sejak Mandira terbangun dari tidurnya, namun ia belum bergerak dan mencoba turun dari ranjangnya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan saat waktu masih sepagi ini sehingga ia lebih memilih untuk duduk di atas ranjang dengan posisi memeluk lututnya yang ditekuk. Tangannya menimang ponsel dan sesekali matanya melirik layar yang tetap gelap tanda tak ada pesan maupun panggilan masuk. Mandira menunggu kabar dari Hans. Ia masih enggan untuk menghubungi Hans terlebih dahulu meskipun sejak malam tahun baru seminggu lalu Hans belum sekalipun memberinya kabar.

Sebenarnya Mandira menyadari jika hal itu aneh. Ia dan Hans tidak termasuk kategori pasangan yang betah tanpa memberi kabar satu sama lain. Mereka selalu berusaha menjaga komunikasi, sesibuk apapun keduanya.

Apakah ini ada hubungannya dengan kesibukan Hans yang akhir-akhir ini lebih meningkat dikarenakan revisi skripsinya yang hampir melampaui tenggat waktu? Itulah yang ada di pikiran Mandira. Ia selalu mencoba meyakinkan hatinya sendiri bahwa Hans bukan sengaja menjauhinya. Tak ada satupun alasan yang mengarah pada hal tersebut, meskipun di sisi lain hatinya merasa bahwa Hans mencoba menghindar dari dirinya.

Mandira beberapa kali mengusap matanya yang sedikit basah. Ia menangis lagi, meskipun tanpa isakan. Ia ingin menghubungi Hans, namun takut mengganggu kekasihnya yang memang seringkali sibuk itu.

Tanpa disadari, entah sejak kapan tubuh Mandira sudah berubah dari posisinya semula. Kali ini ia meringkuk seperti janin dalam kandungan. Kedua tangannya mendekap erat boneka beruang besar pemberian Hans setahun silam saat mereka merayakan satu tahun hari jadi mereka. Matanya terpejam dengan harapan setelah membuka mata nanti waktu yang telah dijalaninya selama seminggu ini akan terhapus dan keadaan hubungannya dengan Hans kembali seperti semula.

Setelah lebih dari setengah jam ia tak berhasil untuk kembali tidur meskipun matanya sudah terasa nyeri dan pegal karena dipaksa tetap menutup, ia memilih untuk bangun dari ranjang dan mempersiapkan segala keperluannya buat ke kampus siang nanti.

***
Waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi ketika Mandira berjalan dengan sedikit tergesa menyusuri koridor jurusan Teknik Fisika sebuah kampus yang terletak di sebelah barat jalan Kaliurang. Sebelum berangkat ke kampus tadi, ia memutuskan untuk menemui Bagas, salah satu teman sejurusan Hans yang sudah dikenalnya beberapa waktu setelah ia berpacaran dengan Hans. Meskipun pada awalnya Bagas terlihat enggan untuk menemuinya, namun akhirnya ia berhasil membujuk teman dekat Hans tersebut. Harapan satu-satunya hanyalah Bagas. Selain mengisi hari dengan menghabiskan waktu berdua bersama Mandira, Hans seringkali belajar dan bermain game bersama Bagas di rumah kontrakannya.

Ia sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika salah satu sudut matanya menangkap sosok tinggi kurus berdiri di depan ruangan yang tampak seperti sebuah laboratorium, sedang melambaikan tangan ke arahnya. Mandira sedikit tersenyum dan menghampiri Bagas. Beberapa pandangan menyelidik datang dari segerombolan mahasiswa yang ia lewati ketika berjalan menuju tempat Bagas berdiri saat ini, namun ia berusaha mengacuhkan hal tersebut. Ia memang jarang menemui Hans di kampusnya karena seringkali Hans menolak ketika Mandira menawarkan diri untuk menemuinya di sana. Menurut Hans, lebih baik seorang pria yang datang menemui wanita. Lagipula Hans mempunyai kendaraan yang dapat digunakan untuk mendatangi kampus Mandira, sedangkan Mandira tidak.

“Hai,” Bagas sedikit menyunggingkan senyum, menyapa Mandira. Meskipun mereka sering bertemu, namun keduanya jarang berkomunikasi secara pribadi sehingga Bagas tampak agak canggung ketika berhadapan dengan Mandira tanpa adanya Hans bersama mereka. Alih-alih menjawab sapaan Bagas, Mandira justru menanyakan hal yang membuatnya sedikit risih, tatapan mata teman-teman satu jurusan Bagas. “Mengapa mereka memandangku seperti itu?” Mandira mengedikkan bahunya ke arah beberapa mahasiswa di belakangnya yang masih memerhatikan dirinya meskipun sudah jelas-jelas ia berada di tempat ini untuk menemui Bagas.

“Mereka tak terbiasa melihat mahasiswi sepertimu, Mandira,” Bagas berkata sambil melambaikan sebelah tangannya pada gerombolan mahasiswa yang dimaksud Mandira. “Mahasiswi sepertiku?” Mandira menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya dan tampak kebingungan atas jawaban Bagas. “Maksudku penampilanmu,” Bagas sedikit tertawa karena teringat Hans, sahabatnya yang terkenal kutu buku itu juga terpikat dengan mahasiswi Hubungan Internasional yang modis dan mempunyai pergaulan luas seperti Mandira, sangat bertolak belakang dengan kepribadian Hans.

Mandira meneliti penampilannya. Pagi ini ia mengenakan blouse sutra tanpa lengan berwarna merah muda dengan potongan leher rendah dan sedikit berbentuk huruf ‘V’ yang tampak ketat membalut bagian atas tubuhnya, cardigan rajut warna hitam dengan lengan sebatas siku yang tidak ia kancingkan bagian depannya, serta rok A-line selutut berwarna sama dengan atasannya, bermotif bunga-bunga yang tidak terlalu besar. Wedges dengan warna senada blouse dan rok yang ia kenakan serta beraksen tali-tali di bagian pergelangan membuat kaki jenjangnya lebih terekspos nyata. Ia berpikir bahwa aksesoris yang dikenakannya juga tidak berlebihan. Gelang perak berantai halus di pergelangan tangan kanan, jam Alexandre Christie berwarna putih susu di pergelangan tangan yang satunya, serta kalung perak dengan liontin sederhana, sebuah kata berupa nama depannya, tampak anggun berada di lehernya yang tak tertutup kerah baju. Tas bahu yang ia pakai juga bukan barang keluaran Paris maupun Milan, hanya tas dengan brand asal Taiwan berwarna hitam yang cocok dipakai untuk ke kampus. Mandira merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya.

“Tak usah kau hiraukan mereka, Ra. Mereka hanya tidak terbiasa melihat mahasiswi berpakaian modis sepertimu. Mahasiswi di sini semuanya memakai celana panjang atau rok panjang standar,” Bagas menjelaskan kepada Mandira karena dari tadi dilihatnya gadis itu kebingungan dan berkali-kali mengamati penampilannya, mungkin berpikir bahwa ada yang salah dengan cara berpakaiannya hari ini.

“Tadi di telepon kau bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan ya? Terkait apa itu?” Ah, Mandira hampir saja lupa dengan apa yang menyebabkannya datang menemui Bagas. Dengan sedikit gugup ia mencoba untuk bicara, “aku ingin menanyakan sesuatu, terkait Hans.” Dilihatnya Bagas mengerutkan kening, sebelum akhirnya menjawab, “Hans? Mengapa kau bertanya tentangnya kepadaku? Ada apa dengan dia? Tak biasanya kau menanyakan sesuatu terkait Hans, seingatku sejak kalian berpacaran kau tak pernah sekalipun membutuhkan informasi tentangnya dariku.”

Mandira menelan ludah. Ia memang tak pernah membutuhkan informasi apapun dari orang-orang di sekitar Hans sejak pertama kali ia mengenal kekasihnya tersebut. Hans selalu datang kepadanya dan menceritakan hal apapun terkait dirinya kepada Mandira, setidaknya sampai satu minggu yang lalu, di malam tahun baru yang membuatnya tersenyum ketika mengingatnya. “Mungkin kau akan berpikir ini aneh, atau justru kau akan tertawa serta tidak percaya jika aku mengatakannya, tapi kenyataannya sudah genap seminggu ini Hans tidak memberi kabar kepadaku. Kami sama sekali belum berkomunikasi sejak malam tahun baru seminggu lalu,” Mandira menjelaskan dengan lancar kepada Bagas apa yang menjadi permasalahannya.

Dugaan Mandira tidak meleset. Bagas tertawa, bahkan hampir tergelak. “Hans, kau, kalian yang tidak pernah bisa dipisahkan, seolah lengket seperti ban dengan mobil, tidak berkomunikasi selama seminggu? Haruskah aku percaya itu, Mandira?” Sekali lagi Bagas tergelak. Ia berhenti ketika Mandira melotot ke arahnya dengan wajah serius. “Jadi kau serius? Bukan bergurau?” Bagas menanyakan hal yang tak seharusnya ia tanyakan. Mandira terlihat sedikit kesal, namun ia tetap menjawab pertanyaan Bagas, “Aku serius, Bagas. Kalau tidak, kenapa aku mesti datang ke kampusmu dan bertanya kepadamu tentang hal itu sementara siang nanti aku ada ujian?”

Percakapan mereka berakhir dengan satu kesimpulan. Mereka berdua sama-sama tidak berkomunikasi dengan Hans selama satu minggu ini. Bahkan Bagas juga tak bertemu dengannya, di kampus sekalipun. Bagas mengira bahwa mungkin Hans terlalu sibuk menghabiskan waktunya dengan Mandira, sama seperti biasanya. Namun ternyata tidak.

Mandira sebenarnya sedikit kecewa karena pertemuannya dengan Bagas tak membuahkan hasil apapun. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa memaksa Bagas untuk mengetahui keberadaan Hans karena memang ia benar-benar tak tahu. Setidaknya Mandira sudah berpesan pada Bagas untuk memberitahunya jika Hans menghubunginya atau kebetulan Bagas bertemu dengannya di kampus.

Ia kembali ke kampusnya untuk mengikuti ujian siang itu. Meskipun hatinya sama sekali tak tenang karena Hans belum juga menghubunginya, namun Mandira tetap berhasil mengerjakan setiap soal ujian yang ia ikuti. Yang ada di pikirannya hanyalah cepat menyelesaikan urusan kampus dan kembali meringkuk di kamarnya, seperti yang telah ia lakukan selama seminggu ini. Sejak ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama Hans, ia tak lagi mempunyai banyak sahabat. Hans adalah pusat dunianya, tempat berbagi, mengadu, dan berkeluh kesah bagi Mandira. Hingga di saat-saat seperti ini, ketika Hans tak jelas keberadaannya, ia tak bisa menceritakan hal tersebut kepada teman-temannya. Ia hanya bisa pulang, meringkuk seharian di kamarnya, memandangi layar ponsel, kadang-kadang menangis hingga matanya kelelahan dan terpejam dengan sendirinya.

***
Langit sudah berwarna hitam pekat, tak ada lagi sinar matahari yang terpancar melalui jendela kaca kamarnya yang dibiarkan tak tertutup tirai ketika Mandira membuka matanya. Sudah malam dan ia belum makan, bahkan belum sempat mandi karena setelah pulang dari kampus tadi ia langsung meringkuk di ranjang, menangis sampai matanya sembab dan akhirnya tertidur. Perutnya mengeluarkan bunyi yang menandakan minta diisi dengan makanan, namun matanya masih menyesuaikan dengan keadaan kamarnya yang masih gelap gulita, hanya cahaya bulan dari luar yang tampak samar-samar membantu penerangan di dalam kamarnya. Tangannya berusaha mencapai tembok yang terletak di sisi tempat tidurnya dan meraih sakelar lampu. Ketika lampu menyala, tangannya sedikit menutupi matanya yang terasa perih terkena silau sinar lampu yang terangnya begitu kontras dengan keadaan ruangan sebelumnya.

Setelah berhasil menyesuaikan keadaan dan memastikan tubuhnya tak akan langsung limbung jika ia berdiri, Mandira mengambil piama berwarna abu-abu dari dalam lemari pakaiannya. Ia belum mengganti pakaiannya dari tadi pagi, dan tubuhnya terasa lengket minta diguyur dengan air dingin yang mungkin akan terasa menyegarkan.

Beberapa menit lamanya ia berada di kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi yang juga berada di dalam kamar tidurnya, Mandira sudah mengenakan piamanya. Meskipun sebenarnya ia tak mempunyai selera untuk makan, namun ia tetap memaksakan langkah kakinya agar beranjak keluar dari kamar tidurnya setelah sebelumnya ia menyisir rambut dan mengikat menjadi ekor kuda di bagian belakang, memakai cardigan biru muda dan sepatu datar abu-abunya yang senada dengan piamanya serta mengambil dompet dan ponsel.

Berkali-kali ia menoleh ke kanan dan kiri ketika berjalan melewati trotoar sepanjang jalan raya di daerah Sagan, tak jauh dari tempat kosnya. Sebagian besar tempat makan lesehan yang berada di pinggir jalan tampak penuh karena ternyata ia keluar di saat jam makan malam para mahasiswa. Langkahnya terhenti tepat saat matanya melihat Sagan Resto, tempat ia dan Hans seringkali menghabiskan waktu bila malam tiba. Tanpa pikir panjang, seperti tersihir, kakinya tanpa diperintah langsung melangkah masuk ke tempat tersebut. Untung saja beberapa pelayan di tempat tersebut sering melihatnya sehingga mereka tak mempermasalahkan penampilan Mandira yang hanya mengenakan piama dilapisi cardigan dan sepatu datar yang terlalu biasa.

Ia melangkah melewati beberapa pasangan dan sekelompok keluarga yang tampak sedang makan malam. Tak dihiraukannya tatapan mencela dari orang-orang tersebut yang mungkin mempertanyakan penampilannya dan meragukan apakah ia sanggup membayar harga makanan di tempat tersebut. Ketika matanya menemukan kursi kosong di sudut ruangan, langkah kakinya tampak dua kali lebih cepat, berharap untuk segera duduk.

Matanya menelusuri buku menu yang ada di meja. Bila bersama Hans, biasanya ia akan memesan terderloin steak dan avocado float atau lemon tea. Tetapi kali ini ia hanya ingin menelan makanan yang tak membutuhkan waktu lama untuk memakannya sehingga pilihannya jatuh pada nasi goreng keju dan espresso. 

Itulah kali pertama Mandira kembali lagi meminum kopi sejak ia berpacaran dengan Hans. Selama bersama Hans ia berusaha menghentikan kebiasannya meminum kopi. Hans melarangnya dengan alasan kesehatan. Tetapi kali ini ia membutuhkan kopi agar bisa fokus untuk belajar. Sudah seminggu ini ia hanya memikirkan Hans dan tidak bisa memikirkan hal lain di luar itu, termasuk belajar, padahal saat ini ia sedang menghadapi ujian akhir semester.

Hans. Entah apa yang saat ini tengah dilakukannya. Mata Mandira terasa panas, hampir saja ia meneteskan air mata jika saat itu pelayan tak datang mengantarkan makanan pesanannya. Setelah pelayan itu meletakkan makanannya di meja dan menganggukkan kepala singkat lalu pergi, Mandira langsung menyesap kopinya. Keningnya mengernyit ketika rasa pahit menjalari kerongkongannya. Ia lupa rasa espresso seperti apa sehingga tak menambahkan gula ekstra ke dalam cangkirnya. Ingatannya tanpa disadari mengembara jauh, mengenang memori saat pertama kali Hans marah padanya ketika di pagi hari ia meminum secangkir kopi di kantin kampus. Saat itu ia masih merupakan mahasiswa baru dan belum mengenal Hans. Ingatannya kembali ke masa itu.

***

2 comments:

  1. Mantaaap mak

    Semoga sukses terus mak...
    Kisah yogya penuh kenangan bagi sy hehe

    ReplyDelete
  2. insya Allah mak..

    makasih..
    wah2,ada apa tuh dg jogja mak? adakah kisah di sana? hehe

    ReplyDelete