Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Monday, February 20, 2017

A Cup of Espresso

PART 3

[Jika kau ada, maka hati kan merasa.
Jika kau kan datang, maka sebuah pertanda menyapa.
Meskipun kau dan aku tak meyakini, namun takdir tetap menunjukkan jalannya.

Kita satu meskipun belum menyatu.
Kau dan aku, dua raga namun satu hati.
Aku adalah setengahmu,
Kau adalah setengahku.] 

(“Belahan Jiwa”, Penulis, 2013)

Keesokan harinya Mandira terbangun dengan keadaan tubuh menggigil dan keringat dingin bercucuran yang meninggalkan bekas basah di sprei tempat tidur. Napasnya masih tersengal ketika ia berusaha menyingkirkan selimut yang membungkus kakinya. Mandira membutuhkan air minum sehingga meskipun ia masih belum sepenuhnya sadar, kakinya turun dari ranjang dan berusaha berjalan ke sudut ruangan, menuju dispenser. Tangannya masih gemetaran saat ia mengambil gelas dan menggerakkan kran dispenser agar airnya keluar. Dengan sekali teguk air di dalam gelas yang ia pegang langsung habis. Hal itu membuatnya tersedak dan terbatuk-batuk dalam waktu yang cukup lama. Setelah batuknya berhenti, ia meletakkan gelas di meja samping dispenser dan kembali ke ranjang.

Kali ini Mandira tidak berbaring. Ia menarik sprei basah di bawahnya karena tak ingin mendudukinya, dan melemparkan sprei tersebut ke dalam keranjang pakaian kotor yang terletak di dekat pintu kamar mandi. Setelah itu ia menaikkan kedua kakinya ke atas, bersandar pada tembok dan kemudian memeluk lututnya yang sudah ditekuk. Ia mencoba menelaah mimpi yang baru saja dialaminya, sebuah mimpi aneh yang membuatnya terpaksa bangun di pagi buta. Ia melirik jam meja di samping tempat tidur. Masih jam empat pagi.

Mandira ingat betul bahwa sebelum ia tertidur, ia memikirkan Hans, bukan orang lain seperti pria asing yang hadir dalam mimpinya tadi. Ia merasa benar-benar yakin bahwa dirinya tidak pernah mengenal pria itu sebelumnya. Seorang pria yang jelas-jelas bukan orang Indonesia. Ingatannya masih sepenuhnya jelas terkait pria tersebut. Bagaimana rambut cokelatnya yang agak ikal dengan tepatnya sedikit menutupi dahi. Sorot matanya yang tampak sangat kelam meskipun bola mata itu sendiri tidak berwarna hitam, namun cokelat seperti rambutnya. Garis tegas di wajahnya yang terlihat seperti dewa-dewa zaman kerajaan Romawi dan Yunani membuat Mandira meyakini bahwa pria tersebut adalah orang Eropa, meskipun ia tidak dapat memastikan tepatnya dari negara mana.

Ia termenung, memikirkan arti mimpinya. Meminta pertolongan. Pria di mimpinya itu meskipun tidak berkata dengan jelas namun Mandira melihat mulutnya mengeluarkan sebuah kata yang entah bagaimana caranya ia tahu bahwa kata yang diucapkannya adalah ‘tolong aku’. Pada saat pria tersebut mengucapkan kata ‘tolong aku’, tangannya terulur, berusaha menggapai ke arah Mandira yang berdiri di depannya. Mandira ingin menolong pria itu, namun kakinya tak bisa digerakkan, seolah lengket dan menyatu dengat lantai tempatnya berdiri. Hingga akhirnya pria bersetelan hitam-hitam itu tersedot ke dalam sebuah pusaran gelap dan sedikit demi sedikit menghilang. Tepat saat pria tersebut menghilang itulah Mandira terbangun.

Meskipun telah berpikir sangat keras, namun Mandira benar-benar tidak dapat menafsirkan arti mimpi yang dialaminya tadi. Ia sadar betul bahwa pria yang hadir di mimpinya itu bukan merupakan salah seorang kenalannya. Meskipun teman-teman semasa sekolahnya dulu banyak yang mempunyai darah campuran asing, namun ia tak merasa salah satu dari mereka mirip dengan pria yang ada di mimpinya. Teman-teman kantor Arya yang sebagian besar juga merupakan orang asing karena Arya bekerja di sebuah perusahaan multinasional yang bergerak di bidang energi juga tak ada satupun yang mirip dengan pria tersebut. Ia sangat hafal wajah teman-teman kakaknya tersebut karena setiap akhir pekan mereka sering ikut berkumpul di rumah orang tuanya untuk makan malam bersama.

Mandira menghentikan pemikirannya tentang mimpi aneh yang dialaminya tepat saat ponselnya berbunyi dengan sebuah nada yang menandakan bahwa ada pesan masuk. Segera perhatiannya teralihkan dengan adanya pesan tersebut. Ia melepaskan pelukan di lututnya dan bergerak ke tepi ranjang untuk mengambil ponsel yang diletakkannya di meja sejak tadi malam. Sebuah pesan dari Hans membuatnya tersenyum. Hans menanyakan apakah ia sudah bangun dan mengingatkannya untuk tidak minum kopi sebelum Mandira memakan sesuatu terlebih dahulu. Wajahnya memerah seperti tomat. Meskipun ia tidak dapat melihatnya sendiri secara langsung, namun rasa panas yang menyelimuti pipinya sudah cukup menjelaskan semuanya. 

Mandira membalas pesan dari Hans setelah ia beberapa kali bernapas yang ia pikir dapat menghilangkan rasa panas yang saat ini tak hanya ada di pipinya, namun semakin menjalar ke seluruh tubuh. Beberapa saat setelah itu ia baru sepenuhnya tersadar. Astaga, Hans menanyakan apakah ia sudah bangun, berarti sudah waktunya orang bangun tidur, batinnya. Pemikirannya dibenarkan oleh angka pada jam digital ponselnya yang menunjukkan pukul 06.15, dan seketika itu juga Mandira terlonjak, setengah melompat dari tempat tidur. Tanpa disadari ia sudah merenung selama dua jam lebih. Ia ada jadwal kuliah jam delapan nanti dan sebelumnya ia harus menyempatkan diri untuk sarapan agar perutnya tidak protes saat berada di kelas serta setelah itu harus mencetak hasil rangkumannya yang sudah ia simpan dalam flashdisk. Dengan tergesa ia menyambar handuk yang ada di gantungan baju dan menghambur ke dalam kamar mandi.

***

Mandira memasuki ruang kelas dengan napas tersengal-sengal. Dari rental komputer tadi ia berlari sampai ke kampus. Untung saja ia belum terlambat. Masih ada waktu lima menit untuk mengatur napas dan meneguk air mineral dari botol yang ia bawa. Setelah pukul delapan lewat sepuluh menit seorang dosen memasuki kelas dan waktu berjalan begitu saja sampai sekitar pukul sembilan lebih empat puluh menit kelas dibubarkan. Mandira mempunyai waktu dua puluh menit untuk istirahat sebelum kelas mata kuliah selanjutnya dimulai pada pukul sepuluh. Ia hanya menghabiskan waktu dengan tetap duduk di kursinya karena kebetulan kelas selanjutnya terletak di ruangan yang sama. Untuk membunuh waktu, Mandira memilih mengecek ponselnya yang tidak sempat dilihatnya sejak keluar dari kamar kosnya tadi pagi. Ada beberapa pesan masuk, dari mamanya, kakaknya, dan dari Hans. Dengan cepat ia membalas pesan dari mama dan kakaknya, kemudian perhatiannya fokus pada pesan dari Hans. Mandira tersenyum saat membaca pesan dari Hans. Pria itu mengingatkannya tentang janji pertemuan mereka nanti siang.

Mata kuliah selanjutnya berlangsung lancar meskipun Mandira merasa bahwa waktu berjalan dengan sangat lambat. Mungkin karena ia sudah tak sabar untuk melihat wajah Hans. Baru membayangkan saja sudah membuat Mandira terlihat seperti orang gila. Dengan susah payah ia berhasil mengusir bayangan wajah Hans dari pikirannya dan mengikuti penjelasan dosen yang ada di depan kelas.

Pukul dua belas kurang dua puluh menit kelas dibubarkan. Mandira telah membereskan barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas sesaat sebelum kelas dibubarkan tadi, sehingga saat ini ia bisa langsung keluar dari kelas mendahului teman-temannya. Ketika ia melewati beberapa kursi yang ada di dekat pintu keluar teman-temannya yang duduk di kursi tersebut yang menyapa dan ia hanya memilih menanggapi dengan tersenyum serta menganggukkan kepala. Meskipun kemarin saat ospek mereka sudah saling mengenal satu sama lain, namun kali ini ia tidak ingin mengobrol lebih jauh dengan teman-temannya. Ia ingin keluar lebih cepat dari kelas dan segera menuju ke foodcourt untuk menemui Hans. Ketika ia keluar dari kampus dan berjalan beberapa saat sampai di dekat sebuah bank yang terletak di samping kampusnya, secara kebetulan ada seorang tukang becak yang sedang menunggu penumpang. Meskipun letak foodcourt tidak terlalu jauh dari kampusnya, namun dengan naik becak ia bisa menghemat waktu dan tenaga karena matahari bersinar sangat terik di atasnya sampai terasa seperti akan membakar kepala.

Setelah memberikan selembar uang lima ribuan kepada tukang becak yang mengantarnya ke foodcourt, Mandira memasuki tempat tersebut dan mencari keberadaan Hans. Saat jam makan siang seperti ini foodcourt selalu penuh sesak, bahkan meja kursi yang digunakan untuk duduk secara lesehan dan terletak di bagian tengah ruangan dengan lantai lebih tinggi dari sekitarnya tak ada yang kosong satupun. Mandira meneruskan langkah kakinya sampai ke bagian belakang tempat tersebut dan saat itulah ia melihat Hans tersenyum lebar, sedang melambaikan tangan ke arahnya. Hans duduk di bangku panjang dengan beberapa pria lain yang tampak seperti teman-temannya. Mereka sedang asyik mengobrol, namun saat melihat Hans melambaikan tangan ke arah Mandira, sontak semua kepala menoleh ke arahnya. Teman-teman Hans yang semuanya pria mengamatinya sejenak dan segera setelah Mandira sampai di dekat mereka, satu per satu dari mereka mulai berdiri, tersenyum ke arahnya, menepuk bahu Hans dan kemudian berlalu dari hadapan Mandira dan Hans.

Hans mempersilahkan Mandira duduk. Ia memilih bangku kosong yang ada di hadapan pria tersebut. Sejenak mereka hanya diam, menunggu petugas foodcourt mengambil piring-piring kosong bekas makanan teman-teman Hans. Setelah petugas tersebut meninggalkan meja mereka, barulah Hans memulai percakapan. “Kamu mau makan apa? Biar aku pesankan. Keadaan sangat ramai, kasihan kamu kalau harus berdesak-desakan dengan mereka,” tangan Hans menunjuk kerumunan mahasiswa yang berjubel, memenuhi setiap stand penjual makanan di samping kanan kiri meja mereka. “Aku bisa memesan sendiri. Kakak tak perlu repot-repot,” Mandira menolak bantuan Hans. Ia memang tak terbiasa menerima bantuan orang lain dengan mudah, terlebih jika datangnya dari seorang pria yang belum lama dikenalnya. Meskipun Hans tampaknya adalah seorang pria baik, namun Mandira tetap harus menjaga jarak di antara mereka berdua.

Hans tersenyum, menyadari bahwa Mandira masih berusaha menjaga sikap sopan di hadapannya. Gadis itu tak mau terlihat lemah di hadapan pria, batinnya. “Aku tidak repot, Mandira. Lagipula aku sering makan di sini, jadi mungkin kalau aku yang memesankan makananmu akan dapat lebih cepat. Aku pesankan capcai, mau?” Meskipun dengan berat hati, Mandira mengalah. Tampaknya sekuat apapun ia memprotes tindakan Hans, hal itu tak berpengaruh apa-apa terhadap pria tersebut. Hans akan tetap kukuh pada pendiriannya. Akhirnya ia memilih menganggukan kepala. “Tunggu sebentar ya,” dengan satu gerakan Hans sudah berdiri dan meninggalkan Mandira. Ia menyelinap di balik kerumunan mahasiswa lainnya menuju stand penjual makanan Cina di samping kanan meja mereka.

Beberapa menit setelahnya Hans sudah kembali duduk di hadapan Mandira sambil meletakkan dua gelas es jeruk untuk mereka berdua. Mandira membatin. Benar apa kata Hans, ia berhasil dengan cepat membawa minuman untuk mereka, padahal orang lain harus menunggu agak lama sampai minuman mereka diantarkan ke meja masing-masing. “Makananmu akan diantarkan sebentar lagi, tunggu ya,” Hans menyentakkan Mandira dari lamunannya. Menyadari bahwa hanya makanannya sendiri yang dibicarakan, ia bertanya pada Hans, “Kakak tidak makan?” Senyuman manis di wajah Hans tak menghilang sedikitpun, bahkan saat ia menjawab pertanyaan Mandira, “aku sudah makan tadi saat kamu belum datang. Kebetulan tadi pagi aku tidak ada kelas.” Mandira hanya mengangguk. Ia memang tidak pernah dekat dengan pria sebelum kuliah, Hans adalah yang pertama baginya, kalau memang pria ini bisa dibilang sedang mendekatinya. Mungkin karena itulah ia terlihat speechless, padahal biasanya ia selalu bisa mengeluarkan isi pikirannya dengan mudah, termasuk di depan pria sekalipun.

Hans yang mengerti kecanggungan Mandira selalu berusaha membuat suasana agar tidak kaku. Ia membiarkan Mandira menyantap makanannya terlebih dahulu sebelum mengajaknya berbicara mengenai hal-hal yang agak serius. Selama hal itu berlangsung, ia yang lebih banyak berbicara, mulai dari menceritakan tentang keadaan kampus mereka, tempat-tempat makan dan hang out yang asyik di sekitar kampus, sampai masalah budaya Jawa atau Jogja yang harus Mandira ketahui agar bisa survive selama kuliah di kampus mereka. Mandira yang hanya menganggukkan kepala sesekali dan menanggapi cerita Hans seperlunya, menyempatkan diri untuk diam-diam melirik penampilan pria tersebut. Meskipun Hans tidak termasuk ke dalam golongan pria yang memiliki tubuh sangat atletis seperti atlet, namun ia bisa dikatakan memiliki tubuh sehat dan kokoh, mungkin berat badannya sekitar 70 kg dengan tinggi badan sekitar 175 cm kalau Mandira tidak salah menebak. Kemeja putih lengan panjang yang dikenakannya tampak serasi dengan sweater cokelat muda tanpa lengan yang melapisi bagian luar kemejanya. Hans tampak maskulin, dengan gaya maskulinitas khas pria metroseksual. Kacamata kotak berframe kecil warna cokelat yang bertengger di atas hidungnya tampak pas dengan bentuk wajahnya yang tak sepenuhnya berbentuk persegi.

“Mandira, apa kamu mendengarkan apa yang aku bicarakan baru saja?” Suara nyaring yang keluar dari mulut Hans menarik Mandira kembali ke realitas. Hans melihat gadis di depannya itu tersipu dan seketika ada rona merah menghiasi pipinya. Ia menyimpulkan bahwa Mandira tidak mendengarkan apa yang dibicarakannya dari tadi, sehingga akhirnya ia memutuskan untuk mengulangi perkataannya, “aku tadi bertanya, apakah kamu sudah memikirkan tentang tugas khususmu.”

Hans melihat Mandira mengerutkan dahi sehingga alisnya tampak akan menyatu. Mungkin gadis ini sedang mengingat-ingat sesuatu, batinnya. Pertanyaan Hans terjawab dengan keluarnya sebuah kalimat dari mulut gadis tersebut. “Ah, ya, tugas khusus. Maafkan saya kak, saya lupa kalau kita bertemu untuk membahas tugas tentang fotografi itu,” Mandira dengan cepat mengutarakan apa yang sedang dipikirkannya. Mendengar perkataan Mandira, Hans tergelak. “Apa kamu bilang tadi? Lupa? Kamu tidak menganggap pertemuan kita ini sebagai sebuah kencan kan, Mandira?” Mandira sekali lagi tersipu dan tawa Hans makin keras sampai tak bisa dibendung. “Kalau kamu menganggap kencan juga tidak apa-apa. Aku senang,” entah mengapa ketika Hans berkata begitu Mandira menghela napas lega. Ia tak berkata apa-apa untuk membantah ucapan Hans maupun membenarkannya. Apakah Mandira menganggap pertemuan mereka berdua sebagai sebuah kencan? Ia sendiri enggan memikirkannya. Yang pasti ia merasa nyaman dan gembira saat Hans tadi malam menghubunginya sehingga terjadilah pertemuan mereka siang ini.

“Jujur saja kak, saya buta tentang fotografi. Meskipun kakak saya mempunyai hobi fotografi, namun saya sudah cukup puas jika bisa menikmati hasil potretannya,” Mandira memutuskan untuk jujur kepada Hans. Meskipun sebenarnya ada sisi hatinya yang meneriakkan kata malu, namun ia pikir dengan berkata jujur mungkin akan lebih mempermudah masalah. Lagipula ia tak mungkin meminta bantuan Arya. Kakaknya itu sangat susah meluangkan waktu untuk pergi ke luar kota, apalagi secara mendadak tanpa ada persiapan sebelumnya. Papanya sebenarnya juga mempunyai hobi fotografi, namun kesibukannya jauh lebih padat dibandingkan Arya karena harus mengurus beberapa perusahaan keluarga sehingga kehadirannya di Jogja, hanya untuk membantu Mandira mengerjakan tugas, sangat tidak mungkin untuk diharapkan. Satu-satunya yang ia harapkan adalah Hans. Pria itu sudah berjanji akan membantunya mengerjakan tugas.

Dari awal, saat Hans memberikan tugas kepada Mandira waktu ospek universitas, ia sudah menebak bahwa gadis itu tidak mempunyai pengalaman di bidang fotografi. Tebakannya itulah yang ia jadikan sebagai acuan dalam memberikan tugas. Jika Mandira memang tidak mengerti seluk beluk fotografi berarti ia akan membutuhkan bantuan Hans. Dan Hans menikmati ketika gadis itu membutuhkan bantuannya. Semula Hans berpikir bahwa apa yang ia lakukan hanya didorong oleh perasaan iseng, namun pada kenyataannya ia memang menginginkan Mandira untuk membutuhkannya. Perasaan ingin dianggap berguna, naluri dasar seorang pria. Lagipula, ketika berdekatan dengan gadis itu, Hans merasa sreg. Mereka bersisian, duduk di ayunan kayu yang terletak di halaman rumah kontrakannya, bercengkerama menikmati suasana sore bersama. Itulah apa yang ada dalam bayangan Hans ketika memikirkan Mandira. Hingga akhirnya di sinilah ia saat ini, duduk berhadap-hadapan dengan gadis yang telah membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dan sedang berusaha membuat gadis tersebut semakin mendekat dengannya.

Percakapan Hans dan Mandira berakhir satu setengah jam kemudian. Kebetulan setelah istirahat makan siang mereka berdua sama-sama tidak ada kelas lagi. Hans berhasil meyakinkan Mandira untuk ikut pulang bersamanya dengan alasan ia akan mengajarkan teknik dasar fotografi. Hans ingin tetap menjaga kedekatannya dengan Mandira, itulah alasan sebenarnya ia mengajak Mandira pulang bersamanya. Sebelumnya tak pernah ada teman wanitanya yang datang ke rumah kontrakannya. Hans selalu bisa mencegah agar mereka tidak datang meskipun kadang-kadang ada beberapa di antara mereka yang memaksa ikut bersamanya. Mandira berbeda dengan wanita lainnya, bahkan dengan teman-teman Hans. Meskipun sikapnya tampak supel dan hangat, namun gadis tersebut selalu berusaha menjaga jarak dengan seorang pria, terbukti ketika tadi Hans menawarkan ajakannya untuk ikut pulang ke rumah kontrakannya, ia harus berkali-kali meyakinkan Mandira bahwa tak ada maksud apa-apa dibalik ajakannya, murni karena Hans ingin mengajarkan tentang teknik fotografi dan saat ini ia tidak membawa kamera.

Sebelum meninggalkan foodcourt, ketika Mandira akan membayar makanannya, Hans mengatakan bahwa ia sudah membayar semuanya. Sejenak Mandira tertegun, namun akhirnya langsung mengucapkan terima kasih kepada Hans dan meminta Hans untuk tak mengulangi lagi hal tersebut yang hanya ditanggapi Hans dengan mengangkat bahu.  Setelah itu mereka berdua berjalan beriringan menuju bagian depan tempat tersebut, tempat di mana Hans memarkir mobilnya.

Hans membukakan pintu penumpang untuk Mandira kemudian ia dengan cepat memutari mobil dan masuk melalui pintu pengemudi. Sesaat setelahnya Toyota Starlet putih susu tampak melaju pelan menuju rumah kontrakan Hans di daerah Monjali atas, dekat dengan hotel Hyat.

***

Tiga puluh menit setelahnya Hans dan Mandira sudah berada di depan sebuah rumah mungil berpagar besi yang tidak terlalu tinggi dengan beberapa pohon palem dan mangga berada di halaman depannya. Meskipun letak rumah kontrakan Hans tidak terlalu jauh dari kampus, namun jarak tempuhnya memang agak lama karena kondisi jalan di Jogja yang seringkali macet, terlebih di saat siang dan sore hari karena bertepatan dengan jam pulang sekolah maupun kantor. Untung saja ia tadi tidak memilih lewat jalan Kaliurang, namun melalui jalan tembusan di depan rumah sakit dr. Sardjito dan kemudian melewati jembatan baru di belakang fakultasnya yang menghubungkan daerah Pogung dengan jalan Monjali, sehingga dari pertigaan jembatan tersebut ia hanya tinggal belok kanan dan lurus untuk sampai ke rumah kontrakannya.

Mandira tidak setuju ketika Hans mengajaknya masuk ke dalam rumah. Meskipun sebenarnya ia merasa takut kalau Hans tersinggung dengan sikapnya, namun pikirannya membenarkan tindakan menolak tersebut, sebuah tindakan defensif yang harus dilakukan oleh seorang wanita ketika berada di rumah seorang pria yang belum lama dikenalnya. Untung saja Hans memahami alasan Mandira. Jika ia berada di posisi gadis tersebut, kemungkinan besar ia akan melakukan hal yang sama. Kecurigaan dan ketakutan Mandira adalah hal wajar, mengingat mereka hanya bedua saja di rumahnya, tanpa ada orang lain.

Ketika Hans masuk ke dalam rumah untuk mengambil kamera, Mandira berjalan ke arah kursi rotan yang ada di sisi kanan pintu masuk. Teras rumah Hans tidak terlalu luas, namun di sana terdapat dua buah kursi santai berbahan rotan, terletak berdampingan dengan sebuah meja kaca bulat di antara kursi-kursi tersebut. Mandira duduk di salah satu kursi itu, meletakkan tas di pangkuan dan kemudian meluruskan kaki. Matanya mengamati beberapa pot bunga yang berjejer rapi di tepi teras, persis di depannya. Ada aglonema, sansievera, dan adhenium. Mandira tersenyum. Tanaman hias yang ada di depannya, meskipun tidak dipangkas secara teratur, namun siapapun yang melihatnya pasti akan tahu bahwa pemiliknya cukup memperhatikan dan merawat tanaman tersebut, terlihat dari tidak adanya daun-daun kering yang menempel di tangkainya. Tepat saat tangannya akan menyentuh salah satu bunga adhenium yang sedang mekar, telinganya mendengar derap langkah kaki Hans yang sedang membuka pintu. Dengan sedikit kikuk ia menarik kembali tangannya dari tanaman tersebut.

Kepalanya mendongak ke arah samping dan mendapati Hans sedang berdiri tepat di sebelah kursi rotan kosong di sisi meja kaca dengan dua buah gelas berisi es teh dan tas kulit hitam bertuliskan Canon, dapat dipastikan berisi kamera, tersampir di bahu kanannya. Secara refleks ia membantu Hans dengan mengambil gelas-gelas tersebut dan meletakkannya di meja. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika kulit tangannya tak sengaja menyenggol lengan bagian bawah Hans yang tak tertutup kemeja. Pria itu sudah mengganti pakaiannya. Sebuah polo shirt warna biru benhur tampak membalut tubuh tegapnya dan otomatis tidak dapat menyembunyikan kulit tangannya yang tampak putih bersih. “Maaf..” kata tersebut tanpa sadar terucap dari mulut Mandira. Ia menunduk, tak mampu menatap mata Hans. Ia takut pria tersebut melihat semburat merah yang mendadak muncul di pipinya.

Telinganya sekali lagi mendengar sebuah gerakan. Ternyata Hans sudah duduk di kursi. “Tak apa, Mandira. Mengapa harus minta maaf?” Suara Hans terdengar seperti pria itu sedang menahan rasa geli. “Silahkan diminum dulu minumannya. Hanya ini yang ada di dalam kulkasku. Maklum, seorang bujangan yang tinggal sendirian,” lanjut Hans sambil mengedikkan ke arah es teh yang ada di meja. Mandira sedikit mengangkat kepala, namun masih belum berani melihat ke arah Hans. “Terima kasih, kak. Es teh manis sudah lebih baik, saya malah hanya punya air putih di kosan,” entah mengapa kalimat itu yang ia ucapkan. “Ah ya, kosan. Aku lupa bertanya, di daerah mana tempat kosmu itu Mandira?” Hans bertanya dengan cepat, seolah takut melupakan hal penting itu lagi. “Saya tinggal di daerah Sagan, kak. Dekat dengan rumah sakit Panti Rapih,” dengan cepat pula Mandira menjawab. Ia merasa tak perlu lagi menutup-nutupi tentang tempat tinggalnya terhadap Hans. Pria itu tampak sangat baik sejak merasa saling mengenal, batin Mandira.

Meskipun pada awalnya percakapan mereka agak kaku, namun lama-kelamaan mereka tampak lebih akrab. Mandira sudah berani menatap mata Hans, karena pria itu memaksa, meminta untuk diperhatikan ketika dengan lancar ia menjelaskan tentang bagian-bagian dari kamera DSLR yang sebelumnya sudah ia keluarkan dari dalam tasnya. Kedua tangan Hans memegang kamera Canon 500D seolah takut benda tersebut terlepas darinya. Mandira mengamati dengan seksama ketika pria tersebut berbicara, kadang-kadang tangannya bergerak menyentuh bagian yang ditunjuk oleh Hans. Mandira memang tidak pernah memegang kamera DSLR meskipun papa dan kakaknya seringkali memaksanya untuk melakukan hal itu. Untuk seorang pemula bagi dirinya, penjelasan yang Hans berikan cukup mudah dimengerti. Ia menjelaskan secara sederhana mengenai lensa, grip, stabilizer, shutter, flash, dial button, anti red eye, view finder, dan bagian lainnya. 

Pada akhirnya Mandira mendapatkan kesimpulan bahwa ketika ia ingin memotret dengan kamera DSLR, ia hanya perlu menggunakan telapak tangan kirinya untuk menyangga lensa dan bodi kamera sambil jari-jarinya mengatur titik fokus—jika ia ingin menggunakan metode manual, bukan auto focus—dan mengatur zooming, sementara tangan kanannya harus memegang grip yang terletak di bagian kanan bodi kamera untuk mengurangi camera shake atau goncangan sambil jari-jarinya bekerja mengatur mode dial dan menekan tombol shutter dengan telunjuk jari kanan. Tombol shutter berfungsi untuk mengeksekusi pengambilan gambar, istilah mudahnya adalah menjepret atau membidik objek yang diinginkan. Jika ia menginginkan memotret dengan posisi vertikal, maka ia hanya tinggal mengubah posisi kamera menjadi vertikal, sedangkan posisi tangan tidak perlu diubah, hanya disesuaikan saja, begitu kata Hans.

“Kurasa kamu perlu mencobanya secara langsung, Mandira. Kadangkala teori terdengar lebih mudah,” Hans memberikan sebuah usulan. Mandira mengangguk sebagai tanda persetujuan. Mereka berdua berdiri, Hans berjalan lebih dulu dan berhenti di dekat pagar besi di halaman yang terlindung pohon mangga yang tidak terlalu rimbun. “Jenis fotografi yang paling mudah dilakukan oleh seorang pemula adalah nature photography,” Hans kembali menjelaskan dan matanya memandang ke depan. Mandira mengikuti pandangan Hans dan ia melihat di seberang jalan kecil di depannya terdapat beberapa petak sawah yang tampak ditumbuhi oleh padi-padi berwarna hijau kekuningan, menandakan tanaman tersebut sudah menua. Di tengah-tengah sawah tersebut terdapat sebuah gubuk dengan atap daun rumbia. Gubuk tersebut tampak agak kecil, namun jika diperhatikan dengan seksama, kehadirannya di antara warna hijau kekuningan dari tanaman padi tampak menimbulkan kesan tersendiri. Beberapa orang-orangan sawah yang terbuat dari kain putih menghiasi bagian kiri kanan gubuk, membentuk deretan yang jika diperhatikan akan menyerupai sebuah garis lurus, membelah hamparan sawah menjadi beberapa bagian.

Hans mengamati raut muka Mandira. Ia menepuk lembut pundak gadis tersebut, “rupanya sudah bisa menikmati pemandangan. Sudah menyadari perbedaannya, eh?” Mandira kaget, hampir terlonjak. Bukan karena ucapan Hans, namun karena sentuhan pria tersebut di pundaknya. Ia merasa seperti tersengat aliran listrik ketika Hans menyentuhnya, padahal sentuhan tangan Hans terhalang kain blouse yang dipakainya. “Nature photography ada beberapa macam, jika mungkin kamu pernah mendengarnya. Ada fotografi lanskap, bawah air, satwa liar, cloudscape, dan seascape. Dan untuk bisa menghasilkan sebuah gambar yang menarik, pengetahuan tentang teori fotografi bukan satu-satunya hal yang dibutuhkan. Kita harus punya rasa seni, sense of art istilahnya. Selain itu mata kita harus jeli, karena seorang fotografer dituntut untuk bisa melihat perbedaan dari suatu objek yang tidak dapat dilihat oleh orang awam,” lanjut Hans. Mandira hanya manggut-manggut. Selain penjelasan yang diberikan Hans membutuhkan beberapa waktu untuk dicerna, ia juga masih berusaha meredam sensasi aneh yang tadi ditimbulkan oleh sentuhan tangan Hans.

“Kurasa penjelasanku sudah cukup kamu mengerti. Lebih baik sekarang kamu mencoba mempraktekkannya dengan objek yang ada di depan kita,” Hans berkata dengan nada tegas yang tidak mungkin untuk Mandira bantah. Ia menyerahkan kamera ke tangan Mandira, kemudian berjalan ke arah belakang, tepat di belakang tubuh Mandira. “Pergunakan tangan kanan dan kirimu sebaik-baiknya. Keduanya harus bekerja secara bersamaan untuk menghemat waktu dan memperkecil kemungkinan kehilangan momen-momen istimewa bagi kita,” Hans memberikan petunjuk yang dengan cepat diikuti oleh Mandira. Dengan posisi sedikit membungkuk, ia meletakkan kamera di depan wajahnya dan kedua tangannya bergerak sesuai posisi yang tadi sudah dijelaskan oleh Hans. Ia memicingkan sebelah matanya, sedangkan mata yang masih terbuka mengintip dari balik jendela bidik atau view finder setelah ia menyetel beberapa pengaturan yang diperlukan sebelumnya. Tepat pada saat ia berada di posisi tersebut, suara Hans yang berada sangat dekat di telinganya membuat tubuhnya menegang. “Miringkan kameranya ke kanan sedikit, Mandira. Posisinya masih agak condong ke kiri, belum rata,” hanya dengan kalimat pendek seperti itu, dan tiba-tiba Hans melihat bagian bodi kanan kamera hampir terlepas dari tangan Mandira yang tampak agak gemetar. Ia menyadari hal tersebut dan segera menahan pergelangan tangan Mandira sebelum akhirnya ikut memegang grip kameranya sehingga kedua tangannya melingkari leher Mandira, terjulur ke depan wajah gadis tersebut.

Mandira membeku. Ia merasakan dada Hans menempel dengan ketat di punggungnya, tangan pria tersebut berada di atas tangan kanannya yang masih memegang bodi kamera. Rahang Hans menempel di rambut yang menutupi sebagian pipinya. Sesaat mereka berdua sama-sama terdiam dalam posisi tersebut. Entah keduanya saling menyadari atau tidak jika jantung masing-masing berdetak dengan cepat dan napas mereka sedikit memburu.

Hans yang akhirnya tersadar terlebih dahulu, ia segera mengambil alih pegangan kamera, sehingga secara otomatis Mandira melepasnya dan segera membebaskan diri dari lingkaran tangan Hans yang berada di lehernya. Mandira beralih posisi, ia berdiri di samping Hans. Keduanya terdiam, sama-sama menundukkan kepala. “Maafkan aku Mandira, aku tak bermaksud dengan sengaja menyentuhmu,” ucapan Hans terdengar tulus di telinga Mandira. Mandira masih terdiam. Ia masih menelaah respon tubuhnya ketika tadi Hans tidak sengaja menyentuhnya. Mengapa perasaan aneh muncul di dalam benaknya? Beberapa saat lamanya sebelum ia tersadar dan dengan segera meminta maaf kepada Hans, “saya yang seharusnya meminta maaf kepada kakak karena kecerobohan saya. Kalau tadi kakak tidak membantu saya memegang kamera, mungkin saya akan membuat kamera kakak jatuh ke tanah.”

Hans mengembuskan napas panjang dan kemudian berkata, “ah, sudahlah Mandira. Kita lupakan saja kejadian tadi. Mungkin lebih baik jika sekarang aku mengantarmu pulang. Hari sudah hampir gelap.” Pembicaraan mereka berakhir seperti itu karena dalam sekejap Hans melangkah memasuki rumah untuk mengambil kunci mobil kemudian keluar lagi dan menghela Mandira untuk memasuki mobil yang terparkir di dekat tempat mereka berdiri tadi setelah sebelumnya ia membukakan pintu untuk gadis tersebut.

Mandira masih terdiam meskipun mobil sudah melaju dan berada di jalan raya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Sesekali ia melirik Hans. Pria itu tampak fokus menatap ke arah jalan, kedua tangannya mencengkeram setir dengan kuat. Mandira segera kembali memandang ke arah depan ketika ia melihat Hans akan mengucapkan sesuatu. “Apakah besok siang kamu ada kuliah? Kalau misalnya tidak ada, mungkin kita bisa mulai untuk hunting foto dengan mengunjungi beberapa tempat yang menarik dan sering dijadikan tempat memotret oleh kebanyakan fotografer,” pertanyaan Hans membuat Mandira tersenyum. Besok ia akan menghabiskan waktu lagi bersama Hans. Ia harus mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia merasa bahagia karena kenyataan tersebut, sehingga tanpa berpikir panjang ia menjawab, “boleh kak, kebetulan besok saya hanya ada kuliah pagi.” Hans yang dari tadi menunggu respon dari Mandira tampak lega, “bagus. Besok kita bertemu di foodcourt ya. Setelah makan siang kita berangkat.” Percakapan singkat mereka selesai dan sisa perjalanan hanya dihiasi dengan keheningan. Baik Hans maupun Mandira tampaknya sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Mobil Hans berhenti di depan sebuah gang di samping rumah sakit Panti Rapih. Mandira memilih untuk berjalan kaki dari gang tersebut, kebetulan letak kosannya tidak terlalu jauh dari tempat tersebut. Setelah mengucapkan terima kasih ia melambaikan tangan kepada Hans dan kemudian tanpa ia sadari mobil Hans sudah kembali melaju meninggalkannya.

Kepalanya berkali-kali tampak bergeleng-geleng. Mandira mencoba mengusir pikirannya yang dari tadi tak berhenti memikirkan peristiwa yang dialaminya di rumah Hans. Ia dengan cepat melangkahkan kaki menuju tempat kosnya karena ingin segera mandi. Mungkin dengan mengguyur air dingin ke atas kepala dan tubuhnya akan membuat otaknya kembali normal dan berpikir jernih sehingga ia dapat melewati malam ini dengan tenang dan dapat tidur dengan nyenyak tanpa bermimipi lagi. Mimpi. Dalam sehari ini Mandira dapat melupakan mimpi aneh yang ia alami kemarin malam begitu aja. Mungkin karena seharian ia menghabiskan waktu bersama Hans. Ya, Mandira yakin akan hal itu.

***

Wednesday, February 15, 2017

A Cup of Espresso

PART 1

Satu tangannya berkali-kali mengetuk cangkir di meja dengan sendok kecil, sedang tangan yang lainnya menopang dagu dengan sikunya berada di meja. Matanya tak berkedip, seolah terlihat menerawang jauh menembus batas pemikiran yang tak seharusnya ia pikirkan ketika embun pagi bahkan masih bisa diraba oleh jemarinya. Hampir enam puluh menit lamanya wanita itu bertahan dalam posisi yang sama, seolah waktu tak berjalan dan tubuhnya tak merasa lelah diam dalam satu posisi tersebut.

***
[ When I see your face There’s not a thing that I would change Cause you’re amazing Just the way you are

And when you smile The whole world stops and stares for a while Cause girl you’re amazing Just the way you are ]

(Cuplikan lirik lagu “Just The Way You Are” oleh Bruno Mars)

Sementara itu, seorang pria berkemeja putih dengan celana jeans hitam tampak telah lama memerhatikannya dari luar etalase coffee shop. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, matanya meneliti dengan detail sebuah gelang yang terpasang cantik di pergelangan tangan wanita di dalam coffee shop tersebut. Gelang yang diyakininya berbahan dasar perak meskipun tak dilihatnya dari dekat. Rantainya kecil dan halus, dengan beberapa hiasan yang tergantung, ada bunga lily, bintang, dan bulan sabit.

Pria berambut cokelat itu sekali lagi tampak tak beranjak dari tempatnya berdiri ketika matanya yang juga berwarna cokelat, jeli menemukan keindahan lain dari objek yang ditatapnya sejak tadi. Kalung berantai halus dengan liontin agak besar yang sedikit menjuntai melewati leher wanita di dalam coffee shop seolah menyihir matanya untuk tak berkedip dan berusaha mengeja huruf demi huruf yang membentuk satu kesatuan menjadi sebuah liontin dan sebuah kata. M-A-N-D-I-R-A. Berkali-kali mulutnya mengucapkan kata itu. Meskipun ia tidak atau mungkin belum tahu apa arti kata tersebut, namun ia percaya bahwa MANDIRA bukan hanya sekedar kata tanpa makna, terbukti dari penggunaannya sebagai liontin sebuah kalung.

Mario Ricci mengutuki ingatannya sendiri karena kelalaiannya membawa kamera saku yang seringkali dipakainya untuk mengambil potret dari hal-hal yang membuat matanya tertarik ketika dirinya menyusuri setiap jalanan di kota Jogja. Akibat kelalaiannya itu, ia tak bisa mengabadikan momen langka di depannya yang mungkin suatu saat nanti bisa menjadi inspirasi untuk membuat desain perhiasan. Inspirasi, satu hal penting yang selalu dibutuhkan oleh Mario untuk melakukan setiap pekerjaannya, termasuk membuat desain perhiasan. Dirinya termenung, seolah baru saja menyadari jika sudah hampir 3 tahun, sejak kejadian kelam di masa lalunya, ia hampir tak pernah sekalipun menjumpai sesuatu yang bisa disebut sebagai sebuah inspirasi, hingga akhirnya ia lebih memilih menenggelamkan dirinya ke dalam bisnis investasi perak, bukan lagi membuat desain.

***

Mandira tersentak, sadar dari lamunan panjangnya ketika tiba-tiba dering ponselnya berbunyi, meraung-raung meminta untuk segera diangkat. Wajahnya kembali murung setelah melihat siapa yang meneleponnya. Bukan seseorang yang masih ditunggunya, seseorang yang pernah bersamanya dan melukiskan sebuah kisah indah sampai 3 tahun silam, meskipun pada akhirnya hanya menyisakan perih di hatinya. Dengan enggan jarinya memencet tombol ‘jawab’ dan berbicara dengan orang yang meneleponnya. Tanpa melebarkan mulutnya, ia sedikit tersenyum, senyuman dalam keterpaksaan, karena meskipun hatinya terasa perih ia tetap harus memaksakan seulas senyum kecil ketika berbicara di telepon dengan orang tuanya.

***

[Yogyakarta, Malam Tahun Baru ─ Tiga tahun sebelumnya]

[Di jalan ini pernah ku gandeng tanganmu dengan keremajaan yang meraibkan kota.
Kau kuajak mengembarai malam,
saling bicara dalam bahasa isyarat yang diiringi berbagai langgam,
dan menerjemahkan diam sebagai satu-satunya alasan,
bahwa tersesat di sini adalah suatu keharusan.

Mungkin cinta belum ku kenali, tapi hati tiba-tiba kehilangan sepi.
Bersama bunga-bunga di bajumu yang bermekaran, aku menghirup kecantikanmu,
seperti kereta menghisap penumpang di stasiun Tugu.
Lalu kita saling meruncingkan bulu mata,
dan melengkapi malam dengan selarik puisi cinta.

Sepanjang Malioboro yang bising, di malam tahun baru yang disesaki angin.
Aku masih mengasuh rambut ikalmu dalam kelu,
ketika kau memilin dan mengasapi biji-biji rindu.
Tiba-tiba kita meleleh di antara jerit terompet dan detik-detik yang ketat,
sampai cinta mengerut di sisa tahun yang terjepit.

Nyaris saja usia 19 menyilangkan nasib ke rahim waktu.
Tapi kita terlanjur memeram cinta dalam kebisuan, 
seperti rel yang bergandengan,
dengan pertemuan yang menyakitkan.
Sedang sebaris senyummu selalu mencongkel hari-hariku,
di sepanjang Malioboro yang mengular waktu di hatiku.

Sungguh...
Setahun silam masih menyala, diminyaki kenangan yang mendedah.]

(“Sepanjang Malioboro”, Majalah Horizon, 2008)

Suasana malam tahun baru di  kawasan Malioboro selalu meriah, penuh dengan riuh rendah jeritan dan sorakan muda mudi yang merasa gembira ketika menyaksikan puluhan atau bahkan ratusan kembang api dinyalakan menjelang detik-detik mulainya tanggal 1 Januari.
Mandira masih menggamit lengan Hans karena takut terpisah di tengah-tengah kerumunan dan desakan banyak orang yang ikut serta merayakan malam tahun baru di Malioboro. “Dik, kamu masih suka sama kembang api, kan?” Hans akhirnya mampu mengeluarkan suaranya meskipun memang dibutuhkan tenaga ekstra karena setiap orang di sini mengeluarkan berbagai macam suara dan tawa. Dengan sedikit mengernyit, Mandira menoleh ke arah Hans yang langsung disambut dengan senyum lebar khasnya, “Mengapa tiba-tiba bertanya seperti itu, Hans? Kamu tahu aku akan selalu suka sama kembang api, terlebih karena sekarang sangat susah untuk melihat bintang di langit.” Mandira tak pernah sekalipun memanggil Hans dengan sebutan kakak, mas, ataupun sebutan lain yang biasa digunakan oleh orang yang lebih muda kepada yang lebih tua. Meskipun begitu, Hans selalu memanggilnya adik. Kata Hans, dengan memanggil Mandira seperti itu membuatnya semakin sayang kepada Mandira.

Langit malam ini mendung, sama halnya dengan malam-malam sebelumnya. Padahal sudah hampir dua pekan Mandira menghentikan ritualnya, melihat bintang di malam hari, yang menurut Hans merupakan hal sia-sia karena meskipun dilihat sampai matanya lelah, bentuk dan sinarnya tidak akan pernah berubah, akan selalu sama sampai akhir masa. Mandira sekarang sedang merindu. Jika tidak melihat bintang satu malam saja dia akan kesulitan untuk memejamkan mata. Untung saja dia berhasil memaksa Hans ikut merayakan malam pergantian tahun baru di Malioboro, meskipun bisa saja mereka membeli kembang api sendiri dan merayakannya di rumah kontrakan Hans di daerah Monjali. Namun menurut Mandira dua hal itu jelas berbeda, menikmati keramaian dan cahaya kembang api di Malioboro akan membuatnya tertawa lepas, sedang jika memilih menyalakan kembang api berdua saja pasti akan dibatasi dengan sikap kaku Hans, tidak selepas di tengah keramaian.

Hans Tedjokusumo. Laki-laki berdarah Jawa-Cina ini telah dua tahun menghiasi hari-hari Mandira. Siapapun yang melihat Hans tidak akan menyangka bahwa dia berumur 22 tahun, karena pipinya yang sedikit chubby, kulit putih, dan senyum ramahnya seolah menyiratkan bahwa umurnya baru menginjak 19 tahun, sama seperti Mandira. Satu-satunya hal yang menegaskan bahwa Hans lebih tua dari Mandira adalah kacamata minus serta panggilan kesayangannya terhadap Mandira, ‘adik’.

“Setelah ini kita mau ke mana?” Pertanyaan Hans mengagetkan Mandira dan menyeretnya kembali ke dunia nyata. Mandira melamun lagi. Kebiasaan yang selalu ia lakukan saat berada di sisi Hans dan memikirkan bahwa dirinya tidak mempunyai mimpi sehebat kekasihnya itu. “Aku ingin makan klepon, Hans...”, lagi-lagi Mandira merajuk serta memamerkan deretan giginya yang tampak putih dan rapi, tersenyum lebar. Senyum yang membuat Hans tidak bisa berkutik, tidak pernah bisa menolak setiap keinginan Mandira.
Sesekali Hans melirik Mandira saat mereka berdua menyusuri jalanan menuju pasar Beringharjo. Saat ada event-event tertentu, penjual jajanan dan makanan di luar pintu masuk pasar tersebut seringkali membuka kiosnya sampai jauh larut malam. Hans melihat Mandira menyandarkan kepala di bahunya, bibirnya dihiasi senyum kebahagiaan. Hatinya goyah. Tegakah dia membuat gadis seceria Mandira kehilangan kebahagiaan masa mudanya? Terlebih jika penyebab hal tersebut haruslah dirinya.

“Hans, benarkah kamu masih belum membuat rencana terkait apa yang akan kamu lakukan setelah lulus nanti?” Mandira berusaha hati-hati dan berbicara sepelan mungkin, bahkan ucapannya hampir terdengar seperti bisikan di telinganya sendiri. Lain halnya dengan Hans. Meskipun ia sudah memperkirakan bahwa suatu saat pasti Mandira akan menanyakan tentang hal tersebut, namun ia tak menduga jika pertanyaan tersebut diajukan sekarang, di saat mereka sedang menikmati salah satu momen bahagia.

Raut muka Hans dalam sekejap berubah, dari rona bahagia menjadi murung. Untung saja Mandira tidak dapat melihatnya saat ini karena masih asyik bersandar di bahunya dengan posisi wajah menatap lurus ke jalan. Setelah beberapa menit hening, tidak ada satupun dari keduanya yang mengeluarkan suara, Hans lebih dulu menguasai keadaan. “Aku kan belum sidang skripsi, dik. Jadi untuk sekarang ini masih bisa santai kan? Kelulusan masih empat bulan lagi, masih ada banyak waktu untuk merancang rencana,” meski sedikit terbata-bata, Hans sanggup menyelesaikan ucapannya.

Tubuh Hans sedikit menegang ketika Mandira tiba-tiba menarik diri dari lengannya dan tersenyum lebar tepat di dekat wajahnya. “Jadi intinya kamu masih belum membuat rencana, kan? Berarti kita masih bisa bersama-sama dan kamu akan tetap tinggal di Jogja?” Seketika Hans membeku, tidak dapat berpikir apa yang harus diucapkannya atas pertanyaan Mandira. Mulutnya baru saja sedikit terbuka hendak mengucapkan sesuatu ketika matanya melihat deretan penjual jajanan beberapa meter di depannya penuh sesak dengan pembeli.

Pengalihan. Itu yang terpikir pertama kali olehnya. “Dik, kamu tunggu di sini saja ya, antriannya panjang dan penjual klepon di depan sana dikerubuti oleh banyak orang. Biar aku saja yang membelinya untuk kita,” tangannya menunjuk ke salah satu penjual klepon langganan mereka, sedikit tergesa karena ia takut Mandira melihat tangannya yang gemetaran. Hans mengembuskan napas lega ketika Mandira tidak mendebat perkataannya seperti biasa dan lebih memilih untuk menganggukkan kepalanya.

***
[Satu minggu setelah malam tahun baru]

Hari masih terlalu pagi ketika Mandira secara tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Sudah genap satu minggu ini kebiasaan tidurnya menjadi aneh, berubah polanya karena satu alasan, dan alasan itu adalah ketiadaan Hans yang biasanya menemaninya lewat telepon hingga ia tertidur. Matanya melirik jam meja yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Masih pukul 3 dini hari.

Lima belas menit telah berlalu sejak Mandira terbangun dari tidurnya, namun ia belum bergerak dan mencoba turun dari ranjangnya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan saat waktu masih sepagi ini sehingga ia lebih memilih untuk duduk di atas ranjang dengan posisi memeluk lututnya yang ditekuk. Tangannya menimang ponsel dan sesekali matanya melirik layar yang tetap gelap tanda tak ada pesan maupun panggilan masuk. Mandira menunggu kabar dari Hans. Ia masih enggan untuk menghubungi Hans terlebih dahulu meskipun sejak malam tahun baru seminggu lalu Hans belum sekalipun memberinya kabar.

Sebenarnya Mandira menyadari jika hal itu aneh. Ia dan Hans tidak termasuk kategori pasangan yang betah tanpa memberi kabar satu sama lain. Mereka selalu berusaha menjaga komunikasi, sesibuk apapun keduanya.

Apakah ini ada hubungannya dengan kesibukan Hans yang akhir-akhir ini lebih meningkat dikarenakan revisi skripsinya yang hampir melampaui tenggat waktu? Itulah yang ada di pikiran Mandira. Ia selalu mencoba meyakinkan hatinya sendiri bahwa Hans bukan sengaja menjauhinya. Tak ada satupun alasan yang mengarah pada hal tersebut, meskipun di sisi lain hatinya merasa bahwa Hans mencoba menghindar dari dirinya.

Mandira beberapa kali mengusap matanya yang sedikit basah. Ia menangis lagi, meskipun tanpa isakan. Ia ingin menghubungi Hans, namun takut mengganggu kekasihnya yang memang seringkali sibuk itu.

Tanpa disadari, entah sejak kapan tubuh Mandira sudah berubah dari posisinya semula. Kali ini ia meringkuk seperti janin dalam kandungan. Kedua tangannya mendekap erat boneka beruang besar pemberian Hans setahun silam saat mereka merayakan satu tahun hari jadi mereka. Matanya terpejam dengan harapan setelah membuka mata nanti waktu yang telah dijalaninya selama seminggu ini akan terhapus dan keadaan hubungannya dengan Hans kembali seperti semula.

Setelah lebih dari setengah jam ia tak berhasil untuk kembali tidur meskipun matanya sudah terasa nyeri dan pegal karena dipaksa tetap menutup, ia memilih untuk bangun dari ranjang dan mempersiapkan segala keperluannya buat ke kampus siang nanti.

***
Waktu belum menunjukkan pukul 9 pagi ketika Mandira berjalan dengan sedikit tergesa menyusuri koridor jurusan Teknik Fisika sebuah kampus yang terletak di sebelah barat jalan Kaliurang. Sebelum berangkat ke kampus tadi, ia memutuskan untuk menemui Bagas, salah satu teman sejurusan Hans yang sudah dikenalnya beberapa waktu setelah ia berpacaran dengan Hans. Meskipun pada awalnya Bagas terlihat enggan untuk menemuinya, namun akhirnya ia berhasil membujuk teman dekat Hans tersebut. Harapan satu-satunya hanyalah Bagas. Selain mengisi hari dengan menghabiskan waktu berdua bersama Mandira, Hans seringkali belajar dan bermain game bersama Bagas di rumah kontrakannya.

Ia sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling ketika salah satu sudut matanya menangkap sosok tinggi kurus berdiri di depan ruangan yang tampak seperti sebuah laboratorium, sedang melambaikan tangan ke arahnya. Mandira sedikit tersenyum dan menghampiri Bagas. Beberapa pandangan menyelidik datang dari segerombolan mahasiswa yang ia lewati ketika berjalan menuju tempat Bagas berdiri saat ini, namun ia berusaha mengacuhkan hal tersebut. Ia memang jarang menemui Hans di kampusnya karena seringkali Hans menolak ketika Mandira menawarkan diri untuk menemuinya di sana. Menurut Hans, lebih baik seorang pria yang datang menemui wanita. Lagipula Hans mempunyai kendaraan yang dapat digunakan untuk mendatangi kampus Mandira, sedangkan Mandira tidak.

“Hai,” Bagas sedikit menyunggingkan senyum, menyapa Mandira. Meskipun mereka sering bertemu, namun keduanya jarang berkomunikasi secara pribadi sehingga Bagas tampak agak canggung ketika berhadapan dengan Mandira tanpa adanya Hans bersama mereka. Alih-alih menjawab sapaan Bagas, Mandira justru menanyakan hal yang membuatnya sedikit risih, tatapan mata teman-teman satu jurusan Bagas. “Mengapa mereka memandangku seperti itu?” Mandira mengedikkan bahunya ke arah beberapa mahasiswa di belakangnya yang masih memerhatikan dirinya meskipun sudah jelas-jelas ia berada di tempat ini untuk menemui Bagas.

“Mereka tak terbiasa melihat mahasiswi sepertimu, Mandira,” Bagas berkata sambil melambaikan sebelah tangannya pada gerombolan mahasiswa yang dimaksud Mandira. “Mahasiswi sepertiku?” Mandira menunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya dan tampak kebingungan atas jawaban Bagas. “Maksudku penampilanmu,” Bagas sedikit tertawa karena teringat Hans, sahabatnya yang terkenal kutu buku itu juga terpikat dengan mahasiswi Hubungan Internasional yang modis dan mempunyai pergaulan luas seperti Mandira, sangat bertolak belakang dengan kepribadian Hans.

Mandira meneliti penampilannya. Pagi ini ia mengenakan blouse sutra tanpa lengan berwarna merah muda dengan potongan leher rendah dan sedikit berbentuk huruf ‘V’ yang tampak ketat membalut bagian atas tubuhnya, cardigan rajut warna hitam dengan lengan sebatas siku yang tidak ia kancingkan bagian depannya, serta rok A-line selutut berwarna sama dengan atasannya, bermotif bunga-bunga yang tidak terlalu besar. Wedges dengan warna senada blouse dan rok yang ia kenakan serta beraksen tali-tali di bagian pergelangan membuat kaki jenjangnya lebih terekspos nyata. Ia berpikir bahwa aksesoris yang dikenakannya juga tidak berlebihan. Gelang perak berantai halus di pergelangan tangan kanan, jam Alexandre Christie berwarna putih susu di pergelangan tangan yang satunya, serta kalung perak dengan liontin sederhana, sebuah kata berupa nama depannya, tampak anggun berada di lehernya yang tak tertutup kerah baju. Tas bahu yang ia pakai juga bukan barang keluaran Paris maupun Milan, hanya tas dengan brand asal Taiwan berwarna hitam yang cocok dipakai untuk ke kampus. Mandira merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya.

“Tak usah kau hiraukan mereka, Ra. Mereka hanya tidak terbiasa melihat mahasiswi berpakaian modis sepertimu. Mahasiswi di sini semuanya memakai celana panjang atau rok panjang standar,” Bagas menjelaskan kepada Mandira karena dari tadi dilihatnya gadis itu kebingungan dan berkali-kali mengamati penampilannya, mungkin berpikir bahwa ada yang salah dengan cara berpakaiannya hari ini.

“Tadi di telepon kau bilang ada hal penting yang ingin dibicarakan ya? Terkait apa itu?” Ah, Mandira hampir saja lupa dengan apa yang menyebabkannya datang menemui Bagas. Dengan sedikit gugup ia mencoba untuk bicara, “aku ingin menanyakan sesuatu, terkait Hans.” Dilihatnya Bagas mengerutkan kening, sebelum akhirnya menjawab, “Hans? Mengapa kau bertanya tentangnya kepadaku? Ada apa dengan dia? Tak biasanya kau menanyakan sesuatu terkait Hans, seingatku sejak kalian berpacaran kau tak pernah sekalipun membutuhkan informasi tentangnya dariku.”

Mandira menelan ludah. Ia memang tak pernah membutuhkan informasi apapun dari orang-orang di sekitar Hans sejak pertama kali ia mengenal kekasihnya tersebut. Hans selalu datang kepadanya dan menceritakan hal apapun terkait dirinya kepada Mandira, setidaknya sampai satu minggu yang lalu, di malam tahun baru yang membuatnya tersenyum ketika mengingatnya. “Mungkin kau akan berpikir ini aneh, atau justru kau akan tertawa serta tidak percaya jika aku mengatakannya, tapi kenyataannya sudah genap seminggu ini Hans tidak memberi kabar kepadaku. Kami sama sekali belum berkomunikasi sejak malam tahun baru seminggu lalu,” Mandira menjelaskan dengan lancar kepada Bagas apa yang menjadi permasalahannya.

Dugaan Mandira tidak meleset. Bagas tertawa, bahkan hampir tergelak. “Hans, kau, kalian yang tidak pernah bisa dipisahkan, seolah lengket seperti ban dengan mobil, tidak berkomunikasi selama seminggu? Haruskah aku percaya itu, Mandira?” Sekali lagi Bagas tergelak. Ia berhenti ketika Mandira melotot ke arahnya dengan wajah serius. “Jadi kau serius? Bukan bergurau?” Bagas menanyakan hal yang tak seharusnya ia tanyakan. Mandira terlihat sedikit kesal, namun ia tetap menjawab pertanyaan Bagas, “Aku serius, Bagas. Kalau tidak, kenapa aku mesti datang ke kampusmu dan bertanya kepadamu tentang hal itu sementara siang nanti aku ada ujian?”

Percakapan mereka berakhir dengan satu kesimpulan. Mereka berdua sama-sama tidak berkomunikasi dengan Hans selama satu minggu ini. Bahkan Bagas juga tak bertemu dengannya, di kampus sekalipun. Bagas mengira bahwa mungkin Hans terlalu sibuk menghabiskan waktunya dengan Mandira, sama seperti biasanya. Namun ternyata tidak.

Mandira sebenarnya sedikit kecewa karena pertemuannya dengan Bagas tak membuahkan hasil apapun. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tak bisa memaksa Bagas untuk mengetahui keberadaan Hans karena memang ia benar-benar tak tahu. Setidaknya Mandira sudah berpesan pada Bagas untuk memberitahunya jika Hans menghubunginya atau kebetulan Bagas bertemu dengannya di kampus.

Ia kembali ke kampusnya untuk mengikuti ujian siang itu. Meskipun hatinya sama sekali tak tenang karena Hans belum juga menghubunginya, namun Mandira tetap berhasil mengerjakan setiap soal ujian yang ia ikuti. Yang ada di pikirannya hanyalah cepat menyelesaikan urusan kampus dan kembali meringkuk di kamarnya, seperti yang telah ia lakukan selama seminggu ini. Sejak ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama Hans, ia tak lagi mempunyai banyak sahabat. Hans adalah pusat dunianya, tempat berbagi, mengadu, dan berkeluh kesah bagi Mandira. Hingga di saat-saat seperti ini, ketika Hans tak jelas keberadaannya, ia tak bisa menceritakan hal tersebut kepada teman-temannya. Ia hanya bisa pulang, meringkuk seharian di kamarnya, memandangi layar ponsel, kadang-kadang menangis hingga matanya kelelahan dan terpejam dengan sendirinya.

***
Langit sudah berwarna hitam pekat, tak ada lagi sinar matahari yang terpancar melalui jendela kaca kamarnya yang dibiarkan tak tertutup tirai ketika Mandira membuka matanya. Sudah malam dan ia belum makan, bahkan belum sempat mandi karena setelah pulang dari kampus tadi ia langsung meringkuk di ranjang, menangis sampai matanya sembab dan akhirnya tertidur. Perutnya mengeluarkan bunyi yang menandakan minta diisi dengan makanan, namun matanya masih menyesuaikan dengan keadaan kamarnya yang masih gelap gulita, hanya cahaya bulan dari luar yang tampak samar-samar membantu penerangan di dalam kamarnya. Tangannya berusaha mencapai tembok yang terletak di sisi tempat tidurnya dan meraih sakelar lampu. Ketika lampu menyala, tangannya sedikit menutupi matanya yang terasa perih terkena silau sinar lampu yang terangnya begitu kontras dengan keadaan ruangan sebelumnya.

Setelah berhasil menyesuaikan keadaan dan memastikan tubuhnya tak akan langsung limbung jika ia berdiri, Mandira mengambil piama berwarna abu-abu dari dalam lemari pakaiannya. Ia belum mengganti pakaiannya dari tadi pagi, dan tubuhnya terasa lengket minta diguyur dengan air dingin yang mungkin akan terasa menyegarkan.

Beberapa menit lamanya ia berada di kamar mandi. Setelah keluar dari kamar mandi yang juga berada di dalam kamar tidurnya, Mandira sudah mengenakan piamanya. Meskipun sebenarnya ia tak mempunyai selera untuk makan, namun ia tetap memaksakan langkah kakinya agar beranjak keluar dari kamar tidurnya setelah sebelumnya ia menyisir rambut dan mengikat menjadi ekor kuda di bagian belakang, memakai cardigan biru muda dan sepatu datar abu-abunya yang senada dengan piamanya serta mengambil dompet dan ponsel.

Berkali-kali ia menoleh ke kanan dan kiri ketika berjalan melewati trotoar sepanjang jalan raya di daerah Sagan, tak jauh dari tempat kosnya. Sebagian besar tempat makan lesehan yang berada di pinggir jalan tampak penuh karena ternyata ia keluar di saat jam makan malam para mahasiswa. Langkahnya terhenti tepat saat matanya melihat Sagan Resto, tempat ia dan Hans seringkali menghabiskan waktu bila malam tiba. Tanpa pikir panjang, seperti tersihir, kakinya tanpa diperintah langsung melangkah masuk ke tempat tersebut. Untung saja beberapa pelayan di tempat tersebut sering melihatnya sehingga mereka tak mempermasalahkan penampilan Mandira yang hanya mengenakan piama dilapisi cardigan dan sepatu datar yang terlalu biasa.

Ia melangkah melewati beberapa pasangan dan sekelompok keluarga yang tampak sedang makan malam. Tak dihiraukannya tatapan mencela dari orang-orang tersebut yang mungkin mempertanyakan penampilannya dan meragukan apakah ia sanggup membayar harga makanan di tempat tersebut. Ketika matanya menemukan kursi kosong di sudut ruangan, langkah kakinya tampak dua kali lebih cepat, berharap untuk segera duduk.

Matanya menelusuri buku menu yang ada di meja. Bila bersama Hans, biasanya ia akan memesan terderloin steak dan avocado float atau lemon tea. Tetapi kali ini ia hanya ingin menelan makanan yang tak membutuhkan waktu lama untuk memakannya sehingga pilihannya jatuh pada nasi goreng keju dan espresso. 

Itulah kali pertama Mandira kembali lagi meminum kopi sejak ia berpacaran dengan Hans. Selama bersama Hans ia berusaha menghentikan kebiasannya meminum kopi. Hans melarangnya dengan alasan kesehatan. Tetapi kali ini ia membutuhkan kopi agar bisa fokus untuk belajar. Sudah seminggu ini ia hanya memikirkan Hans dan tidak bisa memikirkan hal lain di luar itu, termasuk belajar, padahal saat ini ia sedang menghadapi ujian akhir semester.

Hans. Entah apa yang saat ini tengah dilakukannya. Mata Mandira terasa panas, hampir saja ia meneteskan air mata jika saat itu pelayan tak datang mengantarkan makanan pesanannya. Setelah pelayan itu meletakkan makanannya di meja dan menganggukkan kepala singkat lalu pergi, Mandira langsung menyesap kopinya. Keningnya mengernyit ketika rasa pahit menjalari kerongkongannya. Ia lupa rasa espresso seperti apa sehingga tak menambahkan gula ekstra ke dalam cangkirnya. Ingatannya tanpa disadari mengembara jauh, mengenang memori saat pertama kali Hans marah padanya ketika di pagi hari ia meminum secangkir kopi di kantin kampus. Saat itu ia masih merupakan mahasiswa baru dan belum mengenal Hans. Ingatannya kembali ke masa itu.

***