Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Thursday, May 21, 2015

Sang Pembunuh Cahaya

Duduk terpekur, menunduk dalam, kedua tangannya berada di atas lutut. Duduk di atas hamparan pasir putih dengan kaki yang sedikit ditenggelamkan ke dalam gundukan pasir, itulah posisi favoritnya. Ia tak hanya menyukai padang rumput dengan putihnya dandelion yang bermekaran di sana-sini. Ia juga amat-sangat menyukai hamparan pasir, suara deburan ombak, serta warna lembayung senja yang selalu dapat membuat matanya tertegun beberapa menit tanpa berkedip. Itulah Liana.

Entah mengapa di senja sore ini Liana tak berkeinginan untuk membuka matanya lebih lama. Hanya beberapa menit saja ia menikmatinya. Hitungan menit yang ia yakin sudah mampu merekam segalanya. Sedikit waktu yang dibutuhkan untuk mengingat bagaimana momen senja itu berlangsung. Ia ingin mematri di dalam ingatannya. Mungkin inilah senja terakhir yang bisa ia nikmati. Mungkin inilah waktu terakhir yang diberikan sebelum ia harus kembali membungkus rapi dan melipat tulisan kecil di mimpinya.

Ia tak ingin berlama-lama membuka mata, apalagi menyusuri pinggiran pantai dan merasakan hangatnya air laut yang mengenai kakinya. Sesungguhnya Liana ingin melakukannya, sangat ingin sekali, namun ia takut hatinya yang sudah terlanjur dibuka ini akan merasakan kepedihan yang lebih lagi. Cukup merasakannya, tanpa harus mengingat momen setiap detiknya.

Sepoi angin laut menerpa anak rambutnya yang agak berantakan di sekitar wajahnya. Tampaknya sebuah kesengajaan yang ia lakukan, mungkin untuk menutupi tetesan yang tak berhenti mengalir dari matanya yang sudah memerah. Sekelebat ia mengingat bagaimana ekspresi Dina, sahabatnya, saat terakhir kali mereka masih bisa duduk bersama.

"Aku senang melihat senyuman itu kembali menghiasi wajahmu, Lia. Kau terlihat cantik dan amat hidup. Tak lagi tampak seperti sebuah robot yang diprogram untuk selalu tersenyum. Senyumanmu kali ini berbeda," Dina memandangi wajahnya agak lama, dan hal itu membuat Liana sedikit jengah hingga akhirnya ia tersenyum malu-malu, tak menyahuti pernyataan Dina.

"Kapan aku bisa bertemu dengannya? Tampaknya seolah kau tak pernah berencana untuk mengenalkannya kepadaku? Ia berbeda dengan Romeo kan? Ia pria baik-baik yang bisa menjagamu kan?" Itulah Dina, selalu mencecar dengan berbagai pertanyaan jika menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan kehadiran pria di dalam hidup Liana.

"Nanti Din. Ada saatnya kamu akan bertemu dengannya. Toh aku tak berencana hanya bersamanya dalam waktu yang singkat. Aku yakin 'dia' adalah sebagian kepingan kebahagiaan yang harus ku jaga baik-baik selamanya," begitulah Liana. Selalu yakin dan percaya sepenuhnya jika ia sudah membuka hati untuk seorang pria.

Dina terdiam, hingga akhirnya ia bergumam, "I wish both of you will always happy till the end." Yang diAmini dengan anggukan kepala oleh Liana.

Itulah kali terakhir mereka bersama, membincangkan tentang sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebelumnya sangat diyakini Liana akan didapatkannya.

Ia terlanjur menyandarkan kepalanya, ia terlanjur menumpukan mimpinya kepada pria itu. Hingga kini ia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa pria yang dianggapnya sebagai sebuah kepingan kebahagiaan itu justru merupakan seorang pembunuh. Pembunuh mimpinya. Pembunuh cahaya kehidupan yang selalu ingin ia rasakan hangatnya setiap hari. Mungkin Liana bukanlah seorang pemaki, ia terlalu lemah untuk melakukannya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menggumam, yang mungkin hanya  bisa dengar oleh kawanan burung yang terbang agak rendah di sekelilingnya.

"Terima kasih sangat kepada engkau, sang pembunuh cahaya. Karena telah mengingatkanku untuk tak menyandarkan mimpiku kepada orang lain. Karena menyadarkanku untuk kembali mengenakan topeng dan memasang cangkang keras di sekitarku. Terima kasih telah membuatku kembali merasakan bahwa hidup dengan kepolosan tanpa lapisan itu begitu menyakitkan. Terima kasih karena telah mengambil cahaya dalam hidupku, hingga aku harus kembali menyimpan mimpiku rapat-rapat agar suatu saat aku dapat mewujudkannya sendiri. Terima kasih atas sekelumit kebahagiaan yang mampu menghadirkan sebuah senyuman lebar yang melegakan setiap orang di sekelilingku. Terima kasih telah mendatangkan sebuah kesempatan bagiku untuk mematri senja terakhir ini dalam ingatanku."

Gumamannya berakhir seiring dengan semakin tertunduk dalam kepalanya. Ia tak ingin membuka mata. Ia takut menghadapi kenyataan bahwa mungkin inilah senja terakhir yang dapat ia lihat. Sesungguhnya ia tak pernah siap meskipun itu adalah sebuah keharusan.

No comments:

Post a Comment