Listen and Download: Tears and Rain by James Blunt

Thursday, July 18, 2013

Malam Terakhir


“Mengapa kau begitu menyukai malam?” Liana tersenyum kecut tiap mengingat pertanyaan yang selalu diulang oleh semua orang di sekitarnya. Mengapa ia menyukai malam, matanya tak pernah berhenti berbinar ketika dinginnya angin malam datang menerpa wajahnya, apakah sangat susah dipahami oleh orang lain? Sementara tiap ada kesempatan ia hampir selalu menjelaskan, hampir selalu menunjukkan alasan mengapa ia tak pernah berhenti menyambut datangnya malam dengan sukacita.

“Ia hanya datang saat malam hari. Lelaki itu, tak pernah menyapaku lagi begitu fajar tiba,” sambil menelan ludah Liana mencoba menjawab pertanyaan dari salah satu sahabatnya. “Lelaki macam apa yang hanya datang saat malam hari dan pergi begitu saja saat matahari terbit?” Sungguh, Liana tak mampu menjawab kali ini. Nyatanya ia menyukai lelaki itu, meski kadang hatinya terasa perih ketika menyadari bahwa ia akan selalu diabaikan jika pagi datang menjelang.

“Liana, apakah kau mencintainya?” Hatinya tertohok saat pertanyaan itu diajukan. Apakah perasaan gembira dan nyaman yang selalu dirasakannya ketika bersama lelaki itu sudah cukup untuk disebut cinta? “Sesungguhnya ia tak pernah pergi dari hidupku,” kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

“Tak pernah pergi kau bilang? Lalu mengapa tak sekalipun ku lihat kau bersamanya di siang hari?” Kadang-kadang Dina, sahabatnya sejak kecil itu, memang terlalu jeli mengamati segala sesuatunya. “Ia hanya sedikit menjauh, Din, bukan pergi,” lagi-lagi Liana membela lelaki itu. Sekali waktu hatinya memang pernah menanyakan pertanyaan yang sama dengan yang Dina tanyakan. Apakah satu-satunya lelaki yang dengan sungguh-sungguh bilang mencintainya itu memang sebenarnya bermaksud pergi dari hidupnya, bukan sekedar menjauh?

“Kau bodoh, Lia. Cinta tak pernah mengenal waktu. Jika lelaki itu hanya sudi bersamamu saat malam hari, maka ia tak sepenuhnya mencintaimu. Camkan itu!” Liana sedikit bergidik ketika mendengar ucapan Dina. “Hampir seribu malam aku telah bersamanya, Din. Aku percaya ia mencintaiku lebih dari apapun.” Liana tak menyangka jika respon yang ia dapatkan dari Dina adalah tawa mengejek. “Lebih dari apapun kau bilang? Lalu kehidupan macam apa yang orang asing itu jalani di siang hari hingga harus mengabaikanmu?” Dina mengungkapkan satu lagi kenyataan yang tak pernah ingin Liana ungkap sebelumnya. Kehidupan lain lelakinya.

Satu minggu setelah percakapan Liana dengan Dina. Lelaki itu, Romeonya, masih tetap datang di malam-malamnya yang gelap. Meski Liana sempat ragu, namun ia berusaha menekan perasaannya. Ia mengingkari hatinya yang membisikkan bahwa Romeo ingin meninggalkannya, hingga suatu siang menjelaskan semuanya.

Saat itu Liana baru saja keluar dari sebuah coffee shop. Kebiasaannya ketika keluar dari suatu tempat dan mulai berjalan menyusuri trotoar adalah mengawasi sekitar. Entah apa yang membuatnya harus melakukan hal itu, tapi instingnya selalu memerintahkan dirinya untuk melalukannya. Pandangannya seketika berhenti pada satu titik, matanya terkunci pada sebuah objek yang ia yakin tak pernah ingin melihatnya. Romeo, lelaki satu-satunya yang selalu dicintainya, berjalan pelan di seberang jalan tempatnya berdiri saat ini, dengan salah satu lengannya melingkari pinggang seorang wanita dengan posesif. Kepala lelaki itu menoleh ke arahnya, bibirnya mengembangkan sebuah senyum permintaan maaf. Liana dapat merasakan seluruh badannya menggigil, namun kakinya seolah tak mau digerakkan dan tetap membeku di tempatnya berdiri. Ia ingat semuanya, percakapan dan perlakuan Romeo padanya tadi malam. Firasat yang ia rasakan adalah sebuah alarm dari hatinya, pertanda yang ia tetapkan sendiri dan akan memperingatkannya ketika seorang lelaki akan menyakitinya, namun alarm itu terus ia abaikan ketika Romeo ada bersamanya.

Malam sebelumnya. “Romeo, mengapa kau datang terlambat malam ini?” Liana hampir saja pergi meninggalkan sebuah padang rumput tempatnya biasa bertemu dengan lelakinya. Romeo hanya tersenyum dan berusaha menggenggam erat tangannya. “Maafkan aku Lia,” hanya kata itu yang Liana dengar. Untuk kesekian kalinya Liana memaafkan Romeo begitu saja tanpa alasan. “Tak apalah, yang terpenting kita masih sempat melihat bintang. Untung malam ini hujan tidak datang, padahal ketika menunggumu datang tadi, aku merasakan dinginnya angin sampai menusuk tulangku. Mungkin alam masih berpihak pada kita, Romeo,” bersama lelaki yang dicintainya, itulah yang ia inginkan saat ini. Romeo duduk di rumput, di sebelahnya. Tangannya dengan lembut meraih kepala Liana, meletakkannya di bahu kokoh yang selalu membuatnya nyaman Liana. “Lia, kau adalah satu-satunya wanita yang pernah aku impikan. Segala yang ada pada dirimu adalah hal yang tak pernah aku bayangkan bisa ku dapatkan. Kalau aku bisa memilih, aku akan selalu bersamamu,” Romeo berkata lirih, dan Liana telah larut dalam kenyamanan hingga otaknya hanya menyerap, tak mampu memproses apa yang baru saja diucapkan oleh Romeo. Liana tak pernah menyadari jika saat itulah malam terakhirnya bersama lelaki yang pernah mengaku mencintainya.

Liana hanya mimpi bagi Romeo. Sebuah impian yang tak harus ia pilih karena ada suatu realitas dalam kehidupannya. Kekasih dan segala sesuatu yang sudah ia miliki saat ini tak akan mampu ia tinggalkan untuk sekedar memilih Liana. Liana memang indah, tapi bagi Romeo, ia hanyalah seorang wanita yang diperlukan kehadirannya saat malam hari, tepat di waktu kekasih realnya masih berpacu dalam ego dan ambisinya. Liana bukan wanita yang dapat Romeo andalkan di siang hari, karena sifat feminin yang melekat pada dirinya hanyalah akan menjadi sebuah ganjalan bagi langkahnya. Mimpi tak harus ia dapatkan, namun realita harus ia pertahankan, meski sudah pasti ada sebuah hal yang dikorbankan, perasaan Liana. Romeo hanya punya keyakinan bahwa suatu saat nanti Liana tak lagi bertemu dengan sosok lelaki seperti dirinya, yang hanya mampu menerima keindahan diri Liana.