Bagian 1
Semilir angin meniupkan hawa dingin ke wajahku. Mendung menggantung sejak pagi tadi, namun sepertinya enggan menghadiahi bumi dengan tetesan air hujan. Sudah hampir tiga bulan aku kembali ke kampus ini, namun memandang bangunan tinggi menjulang di kanan-kiri jalan setapak belakang gedung Dekanat ini rasanya masih tetap asing. Mempercepat langkah, tak kupandang lagi sekitar, hingga suara renyah seorang perempuan terdengar dari arah depan.
“Diana, mau ke mana? Eh, kamu udah terima undangan dari Zaldi belum? Ada di ruang Tata Usaha Departemen kalau mau ambil,” tanya Enno dengan nada ringan, seolah ucapannya itu tak akan berpengaruh apapun terhadap hatiku. Tidakkah ia tahu bagaimana rasanya menahan rasa sakit di dada ini? Semudah itukah orang-orang melupakan kisah kami di masa lalu? Apakah memang sudah seharusnya aku move on? Tetapi, benarkah semudah itu?
“Udah dikasih sama Mbak Ratna kok tadi, No,” jawabku sambil mengangkat tangan kanan, memperlihatkan sebuah undangan bersampul merah maroon kepada Enno.
“Oh, oke deh. Aku duluan ya.” Melihatku menjawab sekadarnya, Enno memilih tidak memperpanjang basa-basi denganku. Baguslah. Aku memang sedang tidak ingin melayaninya. Jadi seuntai senyum tipis beserta anggukan kepala kurasa sudah pas untuk menjawab kalimat yang terlontar dari mulut Enno.
Setelah Enno berlalu, aku kembali melangkahkan kaki. Kali ini sengaja kubuat lebar-lebar hingga akhirnya pemandangan di depan membuatku berhenti. Kretak. Tangan kiriku yang bebas otomatis memegang dada. Astaga. Bunyi apa yang baru saja kudengar itu? Jemariku bergerak meremas kerudung yang menutupi bagian depan tubuh seiring adegan lambat yang tertangkap oleh iris mataku. Apakah dia mencintai perempuan itu dengan sangat?
Di hadapanku tersaji pemandangan yang membuat siapapun penontonnya akan menilai sama. Laki-laki berkemeja abu-abu itu sangat memuja perempuan berkerudung tosca yang berdiri di sampingnya. Bahkan dalam radius beberapa meter saja aku bisa membaca sorot matanya. Tubuhku membeku saat tiba-tiba bola mata sehitam kopi itu menatapku. Hanya sesaat, lalu kutundukkan pandangan. Kretak. Bunyi itu terdengar lagi. Seolah ada yang sedang retak di dalam dada.
“Diana! Tunggu!” Suara itu terdengar nyaring ketika kakiku sudah separuh berputar untuk berbalik arah. Ya Tuhan. Apa yang harus kulakukan? Tiga tahun sudah kami tidak bertemu, sejak keputusan bodoh yang kubuat sendiri waktu itu. Ya. Baru kini kusadari jika ambisi dan idealisme untuk menerima beasiswa pendidikan Master ke luar negeri dari kampus tiga tahun lalu merupakan sesuatu yang tak seharusnya kulakukan. Tetapi bagaimana aku bisa memilih jika perbandingannya adalah menjadi seorang istri atau dosen tetap perguruan tinggi ternama di negeri ini? Jangan salahkan aku.
“Diana!” Sepertinya ia sedang berlari untuk memangkas jarak di antara kami. Mataku memanas. Tiba-tiba saja kelebatan peristiwa demi peristiwa puluhan purnama yang telah terlewati kembali terbayang.
***Bersambung***
Bagian 2 akan diposting besok di sini ya
https://www.facebook.com/novia.adrianti