PART 4
[ If you love me like you tell me
Please be careful with my heart
You can take it, just don’t break it
Or my world will fall apart
You are my first romance
And I’m willing to take a chance
That ‘till life is through
I’ll still be loving you
I will be true to you
Just promise from you will do
From the very start
Please be careful with my heart ]
(Cuplikan lirik lagu “Please Be Careful With My Heart” oleh Regine Velasquez & Jose Mari Chan)
Keesokan harinya, setelah Mandira berhasil melewati dua kelas mata kuliah dari pukul delapan pagi hingga jam pukul dua belas siang, ia bernapas lega. Ia tersenyum-senyum sendiri ketika kelas kedua hampir usai, hatinya berbunga-bunga dan dipenuhi kebahagiaan. Ingin rasanya ia memekik, menyuarakan rasa hatinya. Namun apalah daya, saat ini ia berada di lorong kelas yang dipenuhi dengan hilir mudik mahasiswa dengan berbagai aktivitas masing-masing. Sebagai gantinya, ia bergegas menuju foodcourt untuk menemui Hans.
Sama seperti kemarin ketika ia tiba di foodcourt, hari ini Hans juga sudah terlebih dahulu berada di tempat tersebut. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka tanpa pikir panjang segera memesan makanan masing-masing dan menyantapnya tanpa banyak bicara. Setelah hampir satu jam, akhirnya mereka menyelesaikan makan siang dan langsung berangkat menuju lokasi hunting foto. Hans menyarankan agar hari ini mereka mengunjungi Taman Sari untuk mengambil foto arsitektur bangunan di tempat tersebut. Setelahnya mereka akan mengunjungi candi prambanan untuk kembali mengambil foto arsitektur sekaligus mencoba mengabadikan momen sunset di tempat tersebut. Malam harinya mereka berencana hunting foto di kawasan malioboro.
Perjalanan menuju Taman Sari diisi dengan berbagai macam penjelasan dari Hans tentang architecture photography. Mandira berusaha memahami dengan sebaik-baiknya ketika Hans menjelaskan bahwa dalam jenis fotografi tersebut, ia hanya perlu menambah kejelian mata ketika memperhatikan detail sebuah bangunan sehingga nantinya akan menemukan suatu keunikan, baik itu berupa desain, gaya, ataupun hiasan-hiasan yang dimiliki oleh sebuah bangunan. Intinya adalah keseimbangan antara unsur logis dan seni. Jika suatu bangunan mempunyai kedua unsur tersebut, maka tatkala kita mengabadikannya menjadi sebuah gambar maka gambar tersebut akan membentuk suatu cerita tertentu ketika dilihat oleh orang awam. Yang menjadi salah satu kendala adalah seringkali sebagian besar fotografer kurang memperhatikan hal-hal kecil seperti sudut suatu bangunan, atau bahkan sebuah coretan-coretan tertentu yang kadang-kadang terdapat di sebuah tembok bangunan tersebut. Prinsip perspektif dasar. Menurut Hans, itulah salah satu teori yang harus ia pahami, dan untungnya Mandira sudah pernah mempelajari mengenai hal tersebut ketika ia berada di bangku sekolah menengah, baik itu di SMP maupun SMA, sehingga ia tak perlu mengkhawatirkan mengenai teori.
Kurang lebih satu jam kemudian Mandira dan Hans sampai di tempat tujuan. Setelah memarkir mobil di tempat parkir wisata di depan pintu masuk Taman Sari, mereka berdua berjalan menuju loket untuk membeli tiket dan kemudian segera masuk ke dalam area taman tersebut. Hans dengan cekatan tampak mengeluarkan kamera dari dalam tasnya, beberapa kali memencet berbagai tombol untuk menyesuaikan pengaturan dan kemudian mengalungkan tali kamera di lehernya. Meskipun objek yang diincar oleh mereka kali ini adalah benda mati, Hans tidak membawa tripod. Ia selalu menekankan kepada Mandira bahwa momen-momen istimewa bisa muncul kapan saja, entah mereka sedang dalam kondisi siap atau tidak, sehingga seorang fotografer harus belajar memotret tanpa bantuan alat, termasuk tripod.
Mandira berjalan meninggalkan Hans yang tampak lebih lambat jalannya karena sedang menyetel pengaturan kamera. Ada beberapa laki-laki yang menghampirinya dan menawarkan jasa pemandu wisata, namun ia dengan sopan menolak. Hans tadi berpesan kepada Mandira bahwa dirinyalah yang akan memandu Mandira di semua tempat yang akan mereka kunjungi hari ini. Ketika Mandira memasuki sebuah pintu yang tampak seperti pintu gerbang kecil, ia melihat dua buah kolam yang dipisahkan oleh jalan setapak di tengahnya. Ukuran dua kolam tersebut berbeda, yang berada di sisi kiri tampak lebih besar dibandingkan yang di sisi kanan.
“Kolam ini dulunya, pada zaman pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, digunakan oleh putra-putri dan para selir Sultan untuk mandi. Kolam yang digunakan oleh putra-putri Sultan dinamakan Umbul Kawitan, sedangkan kolam untuk para selir disebut Umbul Pamuncar,” Hans tiba-tiba sudah berdiri di samping Mandira yang masih termangu di tepi kolam. “Coba kamu lihat bangunan tinggi seperti menara di sisi sana,” Hans berkata sambil menjulurkan tangan, menunjuk sebuah bangunan yang sepertinya terdiri dari tiga tingkat dan terletak di ujung kolam yang berada di sebelah kiri jalan. Mandira mengikuti arah tangan Hans. Ia menolehkan kepalanya ke arah kiri. “Menara itu adalah menara pribadi Sultan. Melalui menara tersebut kita bisa melihat pantulan sinar matahari dari kolam. Selain itu kita juga bisa menikmati pemandangan Taman Sari secara umum. Nanti kita akan masuk ke dalam menara itu,” Hans tampak bersemangat ketika menceritakan tentang sejarah Taman Sari.
Ketika Hans akan menjelaskan tentang objek foto yang harus Mandira potret, ia mendapati gadis tersebut termenung menatap air kolam dan berdiri sangat dekat dengan salah satu tangga menuju kolam. “Sedang memikirkan sesuatu?” Ucapan Hans membuat Mandira tersadar dari lamunan dan menoleh ke arahnya. Ia tersenyum samar. “Apakah itu? Bolehkah aku tahu?” Hati Hans entah mengapa merasa terusik. Ia tahu Mandira sedang memikirkan tentang sesuatu hal. “Apakah kamu akan menertawakanku jika aku mengatakannya?” Sejak mereka makan siang tadi, Mandira memang tidak lagi menggunakan kata ‘saya’ dan ‘kakak’ ketika berbicara dengan Hans. Pria tersebut melarangnya. Katanya terlalu kaku dan formal.
“Aku tak akan tertawa. Aku Janji,” Hans hampir tidak dapat menahan untuk tertawa, namun ia berhasil terlihat serius. Ia ingin Mandira mengatakan tentang apapun itu hal yang ada di pikirannya. Mandira mengamati raut wajah Hans sekilas dan kemudian mengucapkan tentang mimpi dan imajinasinya, “aku ingin seperti Cinderella. Menemukan sebuah kebahagian sejati dan bertahan sampai akhir, tanpa ada kekecewaan.” Hans mengerutkan dahi, tampak sedang mencerna maksud dari kata-kata Mandira, sebelum akhirnya ia mengucapkan sebuah pertanyaan, “tanpa kekecewaan, apa maksudmu kamu takut disakiti oleh siapapun itu yang nantinya akan menjadi pangeranmu?”
Mandira tertawa, “Hans, mengapa tanggapanmu begitu serius? Semua gadis pasti ingin seperti Cinderella. Hanya itu.” Hans mengamati Mandira. Ia yakin gadis itu tidak sedang bercanda. Ia hanya tidak mau menjelaskan lebih detail tentang keinginannya, dan Hans tidak ingin terlihat memaksa. “Ok. Apapun itu, kita lupakan saja. Tapi sepertinya impianmu itu sangat bermanfaat bagi kita saat ini. Aku ingin kamu mengambil potret arsitektur kolam di depan kita. Ingat, gambar yang nantinya kamu hasilkan harus menggambarkan sebuah cerita dan mengeksplor sisi arsitektur kolam dan bangunan di sekitarnya,” Hans mencoba mengalihkan topik pembicaraan dengan kembali fokus pada tujuan mereka datang ke tempat ini.
Mandira menyadari bahwa Hans mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia senang akan kenyataan itu. Meskipun apa yang dikatakan Hans tentang dirinya yang tak ingin disakiti itu benar, namun ia tak ingin mengakuinya di depan pria itu. Ia tak ingin terlihat lemah dan cengeng. Akhirnya ia memutuskan untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Hans. Pria tersebut menyerahkan kamera yang dari tadi dikalungkan di lehernya. Mandira menerima kamera itu dengan kedua tangan yang sedikit basah oleh keringat sehingga ia harus mengusapkan kedua telapak tangannya terlebih dahulu pada celana yang ia kenakan.
“Masih ingat cara memegang kamera yang benar seperti yang aku jelaskan kemarin, kan?” Hans bertanya kepada Mandira yang sudah mulai memeriksa pengaturan kamera dan bersiap memosisikannya di depan wajah untuk membidik objek di depan mereka. Mandira menganggukkan kepala sebagai respon atas pertanyaan Hans. “Bagus. Kalau begitu aku akan menunggu di belakangmu agar kamu bisa menggunakan kemampuan penglihatanmu dengan sempurna,” setelah berkata seperti itu Hans dengan cepat berjalan meninggalkan Mandira yang berdiri di depan pemandian dengan sebelah matanya memicing melihat objek melalui view finder dan sesekali mengamati objek yang sama pada layar LCD. Mandira tampak berkali-kali berganti posisi, mencari angle yang tepat. Tadi ketika ia sedang termenung, ia membayangkan seorang putri datang dari tepi kolam berjalan menuruni tiap anak tangga untuk sampai ke dalam kolam. Ia membayangkan bagaimana suasana di sekitar pemandian saat masih digunakan oleh keluarga keraton Yogyakarta—gemericik air dari pancuran yang ada di tengah kolam, wangi berbagai macam bunga yang tumbuh di samping kanan-kiri kolam, serta senda gurau putra-putri raja dan para selir yang sedang mandi—yang ingin ia tampilkan melalui sebuah gambar.
Setelah lebih dari tiga puluh menit akhirnya Mandira berhasil mengambil beberapa foto, ada foto pemandian, gapura agung—tempat kedatangan kereta kencana yang biasa dinaiki sultan dan keluarganya, serta tangga kayu di dalam menara pribadi sultan. Hans merasa foto-foto yang didapatkan oleh Mandira sudah lebih dari cukup sehingga mereka tidak lagi mengambil foto bangunan, melainkan menghabiskan waktu yang tersisa dengan berkeliling di area Taman Sari. Tepat pukul tiga sore mereka berdua meninggalkan Taman Sari dan melanjutkan perjalanan untuk hunting di Candi Prambanan.
Sekitar pukul 16.30 Hans dan Mandira berhasil sampai di area Candi Prambanan. Mereka berdua bergegas membeli karcis dan berjalan cepat ke arah gerbang masuk area candi. Mengejar sunset. Itulah tujuan mereka. Candi Prambanan adalah salah satu tempat yang sering digunakan oleh fotografer untuk mengabadikan momen sunset selain Candi Ratu Boko, Pantai Parangtritis, bukit bintang, dan area lainnya di Jogja.
Mandira dan Hans harus berjalan beberapa lama, melewati beberapa taman yang ditumbuhi oleh beberapa jenis pohon dan bunga serta dihiasi oleh air mancur dan lampu taman kuno berwarna cokelat tua dengan sinar putihnya yang tampak lembut. Dari kejauhan bangunan utama candi serta candi-candi kecil di sekitar candi utama tampak sebagai sebuah objek yang artistik dengan latar warna jingga keunguan dari langit dan sinar matahari di belakangnya. Mandira sesaat tak berkedip ketika menatap pemandangan di depannya. Ia memang jarang menikmati momen sunset. Ia lebih sering menikmati pemandangan langit malam yang dipenuhi ribuan bintang.
“Apakah kita harus mengambil foto arsitektur candi?” Mandira memutuskan bertanya kepada Hans karena ia merasa lebih ingin menikmati momen terbenamnya matahari sambil duduk di atas rumput yang tumbuh subur di area taman depan bangunan candi tempat mereka berada saat ini. Hans menoleh sejenak ke arah Mandira dan menghentikan langkahnya. “Rencananya seperti itu. Kita sudah membahasnya dalam perjalanan tadi kan? Atau adakah hal lain yang ingin kamu lakukan, Mandira?” Hans menghadap langsung ke arah Mandira dan menatap ke dalam mata gadis tersebut, mencoba menebak apa yang diinginkannya. Mandira kali ini tak menundukkan kepala, ia membalas tatapan Hans, namun dengan tatapan memohon. Dengan sedikit merajuk ia mengatakan, “aku ingin menikmati sunset, Hans. Di sini. Duduk di atas rumput. Tak bisakah kita hanya memotret keunikan candi dengan latar belakang matahari tenggelam?” Itulah pertama kalinya Mandira bersikap manja terhadap Hans setelah sebelumnya selalu mencoba untuk terlihat dewasa dan mandiri. Ia memang tidak bersikap manja terhadap sembarang orang. Biasanya ketika ia sudah merasa nyaman dengan seseorang, barulah ia akan terbiasa untuk bersikap manja.
Hans tersenyum lebar sambil menatap bola mata Mandira yang terlihat sangat bening dan bersinar cerah. Ia mengulurkan tangan ke arah kepala gadis tersebut dan sedikit mengacak poninya. “Boleh dik..kita tak perlu memotret candi dari dekat sekarang ini jika kamu lebih suka berada di sini, di taman ini,” Hans kembali menarik tangannya. Mandira tersipu dan sedikit kikuk. Ia tampak salah tingkah. “Adik?” Hanya kata itu yang mampu terucap dari mulutnya. Mandira entah mengapa merasakan bahwa hatinya sedikit membuncah ketika mendengar Hans memanggilnya dengan sebutan ‘adik’. Hans kembali tersenyum, kemudian berjalan ke arah kanan untuk duduk di bawah pohon yang cukup rindang. Mandira mengikutinya dari belakang. “Bolehkah aku memanggilmu seperti itu?” Hans bertanya ketika ia sudah dalam posisi siap untuk duduk di bawah pohon. Ia menepuk-nepuk tanah yang ada di sampingnya dan melihat Mandira yang hanya berdiri kaku di depannya. Hans memberikan isyarat kepada Mandira agar segera duduk di sampingnya yang langsung diikuti oleh Mandira.
“Boleh kok Hans. Sama sepertiku yang lebih suka memanggilmu dengan nama saja, tanpa ‘kakak’ atau ‘mas’,” Mandira menarik lututnya ke atas dan tangannya bergerak untuk memeluk kedua lututnya. Posisi duduk yang sangat disukainya, terlebih jika sedang berada di atas rumput seperti sekarang. Ia menunduk, memandangi ujung sepatunya. Sementara itu, kedua ujung bibir Hans tampak tertarik keluar dan membentuk seulas senyum tipis. “Makasih dik,” Hans mengucapkannya dengan dalam dan hal itu membuat Mandira tertular oleh senyuman Hans. Ia tersenyum samar.
Empat puluh lima menit kemudian Hans sudah berada di posisi siap untuk membidik momen sunset. Ia saat ini sedang dalam posisi setengah berjongkok di depan Mandira, namun menghadap ke barat—ke arah bangunan candi dan tempat matahari berada—sedangkan Mandira menghadap ke selatan. Dari puluhan menit yang lalu, Mandira diam-diam mencuri pandang ke arah Hans. Ia menikmati ketika melihat pria tersebut mempersiapkan pengaturan kamera untuk memotret sunset. Bagaimana cara Hans menjelaskan tentang pentingnya pengaturan manual seperti sensor sensitivitas cahaya (ISO), aperture dan exposure, serta zooming membuat Mandira tambah mengagumi pria itu. Hans juga menjelaskan tentang pentingnya penggunaan live view atau gambar objek yang tampak di layar LCD ketika kita sedang memotret sunset maupun sunrise. Mandira mengagumi pengetahuan Hans tentang efek kebutaan yang akan ditimbulkan jika kita menggunakan view finder pada saat seperti ini. Ia tahu Hans adalah anak Teknik Fisika sehingga dapat dipastikan paham tentang teori cahaya dan bagian-bagian dari mata, namun Mandira tetap menyukai dan tertarik ketika Hans menjelaskan mengenai hal tersebut kepadanya. Mandira menyukai pria pintar, dan Hans termasuk dalam kategori tersebut.
Mandira mengamati Hans yang tampak berkali-kali membidikkan kameranya ke arah matahari. Kadang pandangan matanya juga tertuju ke arah matahari. Ia mengakui keindahan fenomena alam yang saat ini sedang dilihatnya. Bentuk matahari yang bulat—bertengger tepat di atas batas horizon—dengan sinar warna jingga yang mengelilinginya merupakan paduan tepat bahkan bisa dikatakan mendekati sempurna ketika secara lebih detail kita memperhatikan warna-warna di sekitar warna jingga. Mandira melihat adanya gradasi warna, dimulai dari warna jingga, kemerahan, ungu, sampai kemudian kembali lagi ke biru, menyatu dengan warna langit. Sejenak ia tak berkedip. Meskipun dirinya tak begitu mengerti tentang teori warna, namun matanya tidak salah ketika menyimpulkan bahwa apa yang dilihatnya saat ini adalah sebuah karya seni terbaik.
Hans menepuk pundak Mandira dengan lembut ketika mendapati gadis tersebut sedang asyik menikmati keindahan langit. Ia telah selesai memotret dan akan mengajak Mandira untuk segera meninggalkan tempat tersebut. Mereka akan ke malioboro. Mungkin juga makan malam dapat dimasukkan ke dalam agenda mereka jika waktunya cukup.
Mandira menoleh dan mendapati Hans sedang tersenyum lebar dan menatap dirinya dengan lembut. “Sudah selesai? Apakah aku tidak seharusnya mengambil gambar juga, Hans? Bagaimanapun ini adalah tugasku,” Mandira baru menyadari jika seharusnya ia yang memotret, sama seperti ketika mereka berada di Taman Sari siang tadi. Hans berdiri, mengulurkan tangan ke arah Mandira untuk membantu gadis tersebut berdiri. Mandira mendongakkan kepala dan saat itu juga matanya bertemu dengan tatapan teduh Hans. “Ayo... kita harus cepat. Aku lapar dan seniman jalanan malioboro sudah menunggu kita,” Hans mengakhiri perdebatan sebelum Mandira memulainya. Sejenak Mandira menatap ragu ke arah uluran tangan Hans sebelum akhirnya ia menerima dan membiarkan begitu saja saat pria tersebut menggenggam dan menggandeng tangannya. Mereka berdua berjalan bersisian dalam diam dan meninggalkan area candi Prambanan menuju tempat parkir.
Toyota Starlet melaju dengan kecepatan rata-rata meninggalkan area candi Prambanan. Hans dan Mandira yang berada di dalamnya sama-sama terdiam, tidak mengeluarkan sepatah katapun. Mandira sibuk menenangkan diri, karena ia merasa detak jantungnya kali ini tidak senormal biasanya. Iramanya tak beraturan. Di sampingnya, Hans mencoba mengurai perasaan aneh yang seketika menyelimuti hatinya. Kulit tangannya masih terasa hangat, meskipun ia sudah melepaskan tangan Mandira dari genggamannya sejak masuk ke dalam mobil tadi.
Empat puluh lima menit kemudian Hans membukakan pintu untuk Mandira. Meskipun Mandira masih mencoba melihat sekeliling untuk menebak di mana kini ia berada, namun ia tetap mengangkat kakinya, berusaha keluar dari dalam mobil. “Kita di mana, Hans?” Ekor matanya memerhatikan keadaan sekitar, namun ia masih tak menemukan petunjuk untuk memperjelas keberadaannya. Petunjuk satu-satunya yang dapat ia lihat adalah spanduk yang bertuliskan nama sebuah tempat makan. Hans tersenyum, sekali lagi menggenggam tangan Mandira, menggandengnya menuju sebuah meja kosong yang terletak di ujung teras bangunan yang tampaknya sudah tidak terpakai lagi.
“Kamu bisa makan di tempat lesehan seperti ini kan?” Hans bertanya tanpa menoleh ke arah Mandira. Matanya sibuk mengamati kalau-kalau ada pelayan yang lewat dan membawakan kertas menu. Mandira melihat meja-meja lain yang sudah terisi, termasuk yang bukan lesehan. Sebenarnya ia tidak terbiasa makan di tempat seperti ini, namun instingnya berkata bahwa ia harus percaya kepada Hans. “Bisa kok, Hans. Asal menunya tidak membuatku kecewa, aku bisa makan,” Mandira sedikit tertawa setelah mengucapkan kalimat candaannya tersebut.
Sesaat mereka berhenti bercakap-cakap karena ada seorang pelayan yang menghampiri meja mereka berdua dengan membawa kertas menu. Hans menerimanya dan mulai memilih menu makananan dan minuman. Setelah itu ia menyerahkan kertas tersebut kepada Mandira. “Tempat ini merupakan salah satu warung makan lalapan yang terkenal di Jogja. Semua makanan yang ditawarkan adalah khas Nganjuk, Jawa Timur. Yang paling khas di sini adalah sambalnya. Beda dari warung makanan lalapan yang lainnya. Di sini sambalnya dilengkapi dengan irisan jeruk limau,” Hans dengan lancar menjawab semua keingintahuan Mandira yang sejak tadi seolah diacuhkannya.
Mata Mandira menelusuri satu persatu menu yang ada di kertas yang saat ini ia pegang. Ia melihat pesanan Hans. Oseng daun pepaya dan tempe penyet, serta dua gelas es teh tawar. Pesanan yang aneh menurut Mandira. Ia masih berpikir untuk menentukan menu pesanannya ketika suara yang keluar dari mulut Hans mengagetkannya, “Kamu pernah makan nasi bakar? Di sini nasi bakarnya terkenal enak dan hanya tersedia saat malam hari seperti sekarang. Empal dan paru gorengnya juga patut dicoba.” Mandira menatap Hans sesaat dan tersenyum, sebelum akhirnya ia menetapkan pilihan. Nasi bakar, empal goreng, dan es kelapa muda. Ia ingin mencoba paru goreng, namun ragu karena belum pernah memakannya, sehingga akhirnya ia memutuskan memesan empal goreng saja. Ia menyerahkan kertas menu kepada Hans untuk diberikan kepada pelayan yang kebetulan sedang mengantarkan makanan di meja sebelah mereka berdua.
Sambil menunggu pesanan, Mandira kembali melayangkan pandangannya ke sekeliling. “Gedung ini, dulunya gedung apa, Hans?” Mandira bertanya sambil masih memerhatikan sekitar. “Gedung ini dahulu digunakan untuk bioskop, sebelum banyak bioskop di kota ini. Sayang, akhirnya harus tutup karena ada isu tentang peletakan jarum suntik di masing-masing kursinya untuk menjebak penonton,” Hans sedikit mengingat-ingat kejadian yang pernah diceritakan oleh senior kampusnya, karena ia sendiri juga tidak mengetahui perihal isu tersebut. Mandira tertarik dengan penjelasan Hans sehingga sepenuhnya mengalihkan pandangannya dari sekitar ke arah wajah Hans. “Benarkah? Jadi bioskop ini bangkrut gara-gara isu tersebut? Apakah hanya sekedar isu atau kejadian itu benar-benar ada?” Mandira mencoba menganalisis, seperti kebiasaannya ketika menemukan suatu kasus yang menarik. Ia teringat saat perjalanan ke tempat ini tadi melewati sebuah bioskop mewah di sisi kiri jalan. Sayangnya jawaban yang diberikan oleh Hans memaksanya untuk tidak memikirkan hal itu lagi. “Aku tidak tahu. Yang jelas setelah isu jarum tersebut merebak, bioskop ini sepi pengunjung hingga akhirnya tutup dan seperti yang kamu lihat sekarang, tempat makan khas Nganjuk inilah yang akhirnya menempati lokasi ini.” Sebenarnya Mandira masih ingin menanyakan beberapa hal kepada Hans, namun ada seorang pelayan yang datang membawakan pesananan mereka.
Setelah pelayan tersebut menata semua pesanan mereka di atas meja, Hans memberitahu Mandira agar segera menikmati makanannya sebelum mereka kemalaman sampai di Malioboro. Mandira sedikit kecewa, namun hal itu tidak berlangsung lama. Ia tersenyum setelah mencicipi sedikit makanannya, “kamu benar, Hans. Tempat ini memang menawarkan menu yang sangat enak.” Hans membalas senyuman Mandira, “Kalau begitu segera habiskan makananmu, ya. Hati-hati dengan sambalnya, pedasnya pasti akan membuatmu ketagihan.” Mandira tertawa kecil dan kemudian mereka berdua makan dalam diam.
Segera setelah Hans dan Mandira menghabiskan makanan masing-masing, mereka berdua bergegas meninggalkan tempat tersebut karena sudah hampir jam setengah delapan malam. Bahkan Mandira tidak sempat mempermasalahkan hal yang biasanya selalu ia permasalahkan, yaitu mengenai siapa yang membayar makanan mereka. Hans mengendarai mobil dengan kecepatan sedikit di atas rata-rata. Ia khawatir jalan Malioboro macet dan susah mendapatkan tempat parkir yang aman, meskipun ia sudah memilih jalan yang menurutnya paling jarang macet, yaitu rute ke arah Kridosono.
Sudah hampir jam setengah sembilan malam ketika mereka berdua sampai di jalan Malioboro. Hans memilih memarkir mobilnya di halaman benteng Vredeburg. Untung saja masih ada beberapa tempat yang tersedia. Ia mengambil tas kamera yang ada di jok belakang kemudian membukakan pintu untuk Mandira. Ia mengulurkan tangan, membantu Mandira keluar dari dalam mobil. Ketika ia melihat Mandira meraih tasnya, dengan cepat ia berkata, “tinggalkan saja tasmu di dalam mobil, dik. Nanti kita harus jalan kaki sedikit ke arah perempatan kantor pos besar. Tas itu nantinya akan menambah beban jika kamu bawa.” Mandira mengangguk dan mengambil dompet serta ponselnya yang ada di dalam tas tersebut kemudian meletakkan tasnya begitu saja di kursinya.
Mereka berdua berjalan bersisian. Tas kamera tergantung di leher Hans, tangan kirinya menggenggam tangan kanan Mandira. Terdapat kecanggungan di antara keduanya, namun dengan cepat Hans berhasil menguasai keadaan dan mencoba mencairkan keadaan dengan mengajak Mandira untuk berdiskusi tentang foto yang akan mereka ambil kali ini. “Kali ini kita akan mengambil foto jenis night photography, street photography, atau bisa juga culture photography. Menurutmu jenis fotografi yang mana yang cocok dengan keadaan Malioboro kali ini, dik?” Hans menunggu agak lama, sampai mereka sudah berada di dekat musisi jalanan yang ada di sudut perempatan, di bawah lampu lalu lintas. Ia memandang Mandira sekilas, namun yang ia lihat dari wajah gadis tersebut adalah mimik yang menggambarkan kekaguman. Ia mengikuti arah pandangan mata Mandira sampai matanya bertemu dengan sesosok laki-laki—salah satu pemain musik dari kelompok musisi jalanan yang sedang bermain di depan mereka—sedang memainkan perkusi, wajahnya terlihat sangat ceria, dengan senyuman hangat yang dipersembahkan untuk setiap penonton yang ada di sekitarnya. Hans kembali menatap Mandira, kemudian tersenyum. Pantas saja gadis itu tidak menjawab pertanyaannya, ternyata ia sedang terpana dengan pemandangan di depannya. Hans memakluminya karena waktu dulu pertama kali ia melihat musisi jalanan ini bermain, ekspresinya juga sama dengan Mandira. Hans akhirnya lebih memilih untuk memberikan waktu bagi Mandira supa gadis itu bisa menikmati musisi jalanan yang mungkin baru pertama kali ini di lihatnya.
Hampir sepuluh menit lamanya mereka berdua berdiam diri, sampai kemudian Mandira melepaskan tangannya dari genggaman Hans dan menatapnya dengan senyum lebar. “Hans, aku ingin mengabadikan momen ini. Bisakah aku memotret mereka semua, namun hanya berfokus di satu orang saja?” Mandira mengusik ketenangan Hans yang juga masih menikmati permainan musik yang ia lihat dan dengar. Ia sedikit mengerutkan dahi, mencoba menelaah maksud dari pertanyaan Mandira. “Mengapa kamu tiba-tiba mempunyai ide seperti itu, dik?” Hans akhirnya bertanya secara langsung kepada Mandira karena ia tak ingin salah menyimpulkan. Ia butuh alasan. Mandira lagi-lagi kembali tersenyum lebar, kemudian berkata sambil tangannya menunjuk ke arah pemain perkusi yang dari tadi ia perhatikan, “coba kamu perhatikan, Hans. Laki-laki itu tersenyum lebar, tampak sangat ceria, seolah ia ingin menunjukkan kepada semua penontonnya kalau dirinya sangat bahagia. Tetapi coba kamu perhatikan baik-baik raut wajahnya. Apakah kamu menemukan sesuatu yang kontras dengan senyumannya? ”
Hans mau tidak mau kembali memperhatikan pemain perkusi yang ditunjuk oleh Mandira. Ia mencoba mengamati dengan seksama, meneliti setiap bagian dari raut muka laki-laki tersebut. Butuh waktu lebih dari sepuluh menit sampai matanya menemukan sesuatu yang aneh. Beberapa garis halus tampak di dahi laki-laki itu. Ada sekitar tiga garis yang mungkin bisa disebut sebagai kerutan atau keriput. Hal yang wajar, namun mengapa Hans merasa bahwa hal tersebut merupakan suatu keanehan? Terlebih lagi Mandira juga menyuruhnya untuk menemukan sesuatu yang kontras dengan senyuman laki-laki itu, sebuah hal yang mengindikasikan bahwa gadis tersebut juga menemukan suatu keanehan yang terdapat pada raut muka pemain perkusi di depan mereka. Apakah Mandira juga melihat kerutan halus yang terdapat pada dahi laki-laki tersebut?
Seolah bisa membaca pikiran Hans, Mandira memberikan sebuah pernyataan yang merupakan suatu jawaban bagi pertanyaan Hans yang masih ada di dalam hati, belum ia ucapkan di depan gadis itu. “Menurutku laki-laki itu belum terlalu tua, Hans. Mungkin umurnya malah belum genap 40 tahun. Ia tidak seharusnya mempunyai kerutan di wajahnya dengan usia yang belum terlalu tua itu. Meskipun ia tersenyum ceria, namun aku bisa melihat kalau hidupnya tidak seceria senyumannya. Guratan itu adalah buktinya, Hans. Mungkin ia bisa menutupinya dengan senyuman, namun wajahnya tak bisa membohongi kita,” Mandira memberikan sebuah analisis tajam, persis dengan apa yang sudah diduga oleh Hans sebelumnya.
“Kamu benar, Mandira,” Hans berkata sambil mengeluarkan kamera dari dalam tas, kemudian memencet beberapa tombol untuk menyesuaikan pengaturan. Sambil tersenyum, ia kembali berkata kepada Mandira, “portrait photography, itulah jenis foto yang akan kita ambil malam ini. Jenis fotografi ini berfokus pada ekspresi seseorang. Meskipun biasanya model selalu dipersiapkan terlebih dahulu untuk melakukan pemotretan jenis ini, namun aku kira kita bisa membuat pengecualian kali ini. Guratan halus di wajah pemain perkusi itu adalah suatu hal yang alami. Hasilnya akan bagus jika kamu memotretnya dengan angle yang benar. Kamu akan mendapatkan banyak cerita ketika nanti melihat hasil potretanmu.”
Mandira mencoba mencerna pelan-pelan semua penjelasan Hans. Portrait photography. Ia tidak tahu banyak tentang jenis fotografi ini. Ekspresi. Itulah inti dari penjelasan Hans yang dapat ia tangkap. “Jika kita memotret seseorang yang sedang gembira, menangis, ataupun sedih, apakah itu juga termasuk portrait photography?” Mandira menyuarakan apa yang ada di dalam pikirannya. “Benar sekali, Mandira. Sekarang lebih baik kamu mencoba mengambil beberapa potret dari pemain perkusi itu. Usahakan mengatur zooming dan jadikan pemain perkusi itu sebagai titik fokus dengan pemain alat musik lainnya sebagai latar. Zoom tepat di sekitar wajah, agar senyum dan guratan di dahi laki-laki itu sama-sama terlihat.”
Mandira mengangguk dan menerima kamera yang diserahkan oleh Hans ke tangannya. Ia berjalan melewati beberapa penonton yang ada di sampingnya. Ia ingat kakaknya pernah bercerita bahwa angle yang bagus untuk memotret adalah pada titik 1/3 dari luas frame yang ia tentukan. Mandira tidak pernah menerapkan teori tersebut, namun kali ini ia ingin mencobanya.
Sementara Mandira sedang sibuk mencari momen dan angle yang pas buat memotret, Hans masih berdiri di tempatnya semula. Ia membiarkan Mandira berjalan mendekati pemain perkusi. Hans mengamati segala gerak-gerik gadis itu. Dilihatnya Mandira melangkah semakin dekat dengan pemain perkusi di depannya, dan gadis itu berhenti setelah mencapai jarak sekitar dua meter di sisi kanan laki-laki yang akan dipotretnya. Hans mengira bahwa Mandira akan memotret tepat dari sisi samping objek, namun ternyata perkiraannya salah. Gadis itu melangkah pelan-pelan ke sisi depan pemain perkusi sambil sesekali mengamati objek yang akan dibidik melalui view finder. Hans melihat bahwa langkah Mandira kembali terhenti setelah ia mencapai titik 1/3 dari arah samping pemain perkusi kemudian gadis itu beberapa kali memotret dengan cepat. Pada saat itulah Hans merasakan bahwa jantungnya berdetak lebih cepat dan tanpa sadar ia tersenyum sendiri. Hans tak mengerti dengan apa yang terjadi pada dirinya, namun yang ia tahu, ia merasa senang ketika mengamati Mandira sedang memotret. Semula ia berpikir bahwa mungkin saja perasaan senangnya itu muncul karena ia akhirnya menemukan sosok gadis yang bisa memotret, atau lebih tepatnya mau memotret dan dengan gigih berusaha untuk bisa memotret. Tetapi semakin lama ia memerhatikan Mandira yang sedikit membungkuk saat memotret, yang ia rasakan bukan lagi hanya rasa senang. Ada perasaan lain yang lebih dari sekedar rasa senang. Ia tak bisa mendeskripsikan perasaannya secara jelas. Yang bisa ia gambarkan hanyalah rasa deg-degan ketika melihat Mandira yang tampak seksi saat memegang kamera dan membidik objek di depannya.
Meskipun Hans tak banyak berinteraksi dengan wanita dan lebih sering memilih untuk menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku tebal serta memotret, ia dapat mengenali jenis perasaan yang sedang ia rasakan saat ini. Ia tertarik pada Mandira. Baik fisik maupun hatinya menunjukkan semua tanda-tanda tersebut.
Mandira mengamati Hans yang masih menatap lurus ke depan. Semula ia menduga bahwa Hans sedang menikmati pertunjukan musik yang ada di depannya, namun ternyata dugaannya salah. Ketika beberapa menit yang lalu ia beberapa kali mencoba memanggil Hans dan melambaikan tangannya namun tak ada respon, Mandira akhirnya menyerah dan memilih untuk mendekati Hans.
Samar-samar Hans mendengar namanya dipanggil. Makin lama suara yang ia dengar makin jelas dan keras, seakan dengan sengaja diteriakkan oleh seseorang di dekat telinganya.Hans tersentak dan dalam sekejap sadar dari fantasinya tentang Mandira ketika akhirnya ia mengenali suara yang dari tadi meneriakkan namanya. Suara Mandira. Apa yang dilakukan Mandira di sebelahnya? Dan mengapa gadis itu memanggilnya dengan cara berteriak seperti itu? Seingat Hans Mandira tadi masih memotret.
“Akhirnya kamu mendengar panggilanku juga, Hans. Hampir saja tadi aku mengguncang tubuhmu jika sekali lagi aku memanggil namun kamu tidak juga merespon,” Mandira langsung mengeluarkan semua kata-kata yang ada di dalam benaknya begitu ia melihat tubuh Hans bergerak dan sedikit menoleh ke samping, ke arahnya. Respon yang Mandira dapati sungguh tidak disangka-sangkanya. Hans tersenyum lebar, kemudian meraihtali kamera yang masih menggantung di leher Mandira kemudian merapikan serta memasukkannya ke dalam tas kamera yang tersampir di pundaknya.
“Mari kita pulang sekarang, Mandira. Sudah malam, sudah jam sepuluh lebih. Nggak baik kalau gadis sepertimu pulang selarut ini, meskipun ada yang mengantar,” tanpa menunggu jawaban Mandira, Hans sudah berjalan mendahuluinya menuju tempat mobilnya diparkir. Mau tidak mau Mandira segera mengikutinya, karena sepertinya Hans sudah tidak akan mengeluarkan sepatah katapun.
Meskipun Hans berjalan dengan sedikit tergesa dan terlihat selalu memandang lurus ke depan, namun ia sesekali melirik ke samping untuk memerhatikan reaksi Mandira atas sikapnya. Mandira tampak menunduk, seolah tak berani melihatnya. Hans merasa bersalah. Mungkinkah ucapannya tadi terlalu kasar? Nyatanya ia hanya ingin menutupi perasaannya yang tidak menentu dan menahan agar detak jantungnya tetap normal. Untuk mengurangi rasa bersalahnya, ia mencoba meraih tangan kiri Mandira dan menggandengnya. Ia dapat merasakan sejenak bahwa tubuh Mandira sedikit menegang, namun gadis itu tidak berusaha melepaskan gandengannya. Ia dan Mandira berjalan bersisian—dalam diam—sampai akhirnya ia melepaskan tangan Mandira untuk membukkaan pintu mobil di sisi penumpang dan membiarkan Mandira masuk. Dengan cepat Hans berjalan memutari bagian depan mobilnya untuk mencapai sisi pengemudi.
Perjalanan pulang Mandira dan Hans diselimuti keheningan. Tak satupun dari mereka yang mencoba memecah kesunyian. Tampaknya mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mandira mencoba mencerna semua hal yang baru saja terjadi. Perubahan sikap Hans yang mendadak menjadi kaku membuatnya berpikir bahwa ia telah melakukan kesalahan. Sementara Hans, ia sibuk menata hati. Sekelebat bayangan Mandira ketika memotret muncul di benaknya. Mengapa jantungnya berdetak lebih cepat ketika tadi ia mengamati setiap gerakan gadis itu? Bahkan sampai saat inipun, ketika hanya bayangannya saja yang tersisa, hal itu masih membuat ritme jantungnya tak beraturan. Mungkinkah ia sudah tidak waras? Atau jangan-jangan?
***