"Redakanlah kegelisahanmu untukku. Aku tak akan membuat hidupmu dalam kepayahan lagi. Aku akan mengusir sepi yang selama ini hadir di sepanjang waktumu," hanya itu yang ingin kusampaikan kepadanya. Kepada dia sang pemilik mata indah itu.
Dia selalu tergesa setiap kali berjalan menyusuri lorong-lorong ramai di depan tempatku bekerja. Tak pernah sekalipun kulihat dia menolehkan kepalanya untuk memandang sekitar. Tak pernah sekalipun kulihat dia mengecek gadgetnya seperti yang dilakukan oleh anak-anak muda lainnya. Hanya diam, sedikit menunduk, berjalan lurus hingga akhirnya menghilang di ujung lorong yang bisa terlihat oleh ekor mataku.
Entah mengapa kehadirannya mengusik ketenanganku. Sekelebat bayangannya ketika berjalan selalu tampak olehku lewat jendela kaca lebar di samping ruang kerjaku. Aku tak pernah sengaja berniat menunggunya lewat setiap siang datang menjelang, namun seperti ada yang memberitahuku, kepalaku langsung menoleh begitu saja tanpa diperintah setiap dia melintas. Tak ada yang menonjol dari dirinya, bahkan pakaian yang selalu ia kenakanpun adalah warna-warna pastel.
Siang inipun sama seperti siang-siang ebelumnya. Tepat saat dia mulai terlihat berjalan melalui jendela kaca, aku mendongakkan kepala meskipun saat itu konsentrasiku sedang tercurah penuh pada desain yang tengah ku kerjakan. Entah mengapa, tiba-tiba hatiku terusik. Aku tergerak untuk mengikutinya hingga akhirnya kuputuskan untuk melangkahkan kaki keluar ruangan.
Kali ini ia mengenakan baju warna krem. Rambut sebahunya yang terurai bebas dan sesekali tertiup angin membuatnya terlihat sangat manis. Ah, kali inipun aku mulai membuat penilaian. Tak seperti biasanya. Setelah beberapa lama berjalan, tak kuduga dia menoleh ke belakang. Kontan aku kebingungan. Untung saja ada sebuah pohon yang cukup besar di tepi jalan, hingga aku dapat sedikit menyembunyikan tubuhku di baliknya. Dia tampak mengernyitkan dahi dan memandang sekeliling. Mungkinkah dia menyadari kehadiranku? Tapi rasanya tak mungkin. Mustahil dia tahu ada orang yang mengikutinya. Dia terlalu cuek dengan lingkungan sekitarnya.
Tak lama kemudian dia menggelengkan kepala dan berjalan lagi hingga akhirnya sampai di persimpangan jalan. Kuputuskan untuk menjaga jarak agak jauh. Tampak dia berbelok ke kiri. Kali ini aku yang mengernyitkan dahi. Bukankah itu jalan menuju ke sebuah jembatan besar tempat orang-orang nongkrong untuk menikmati sepoi angin? Mau apakah dia ke arah sana? Sebuah pilihan yang aneh.
Aku berhenti saat dia juga berhenti. Dia tampak melambaikan tangan dan tersenyum pada seorang wanita yang mungkin memang sudah menunggunya di salah satu tempat makan di tepi jembatan. Meskipun baru kali itu aku melihatnya tersenyum, namun kuyakini ada yang aneh dari senyumannya. Mungkinkah dia memaksakan untuk tersenyum?
Dia dan teman wanitanya itu duduk di pojok yang agak sepi. Akupun duduk tak jauh dari tempat duduknya, hanya berselang satu meja. Tampak olehku dia kembali memandang sekeliling. Hal yang berbeda. Sudah dua kali kulihat dia bertingkah seperti itu. Tak seperti biasanya yang hanya menundukkan kepala, kali ini dia seperti meningkatkan kewaspadaannya. Aku agak gugup, namun segera ku kuasai diriku lagi. Kupastikan dia tak akan menyadari kehadiranku.
"Kamu terlambat lagi, Lia. Hampir lima belas menit aku menunggumu," terdengar jelas olehku ucapan teman wanitanya itu. Rupanya aku memilih tempat yang tepat. Tunggu, kenapa tiba-tiba aku tertarik menguping pembicaraan orang lain? Itu bukan sifatku, namun kali ini aku tak dapat menahannya.
"Maaf Din, banyak sekali tugas yang harus aku kerjakan kali ini," hanya itu jawaban yang ia berikan sambil sedikit tersenyum meminta maaf kepada teman yang ia panggil Din itu.
Jadi namanya Lia. Lia, Lia, Lia... Kusimpan dalam hati. Kenapa terasa amat damai saat ku sebutkan berkali-kali nama itu?
"Jadi, bukan karena sibuk memikirkan Romeo? Aku tak yakin karena tugas kamu terlambat. Meskipun setiap hari kamu terlambat, namun kali ini keterlaluan, Lia. Bahkan teleponku pun tak kamu jawab," si Din tampak mencecar Lia dengan rentetan pertanyaan. Kuperhatikan lagi, Lia hanya tersenyum. Ah, kenapa dia tak menjelaskan sesuatu. Toh, dia berhak untuk membela diri.
Din tampak menghela napas sebentar. "Kenapa lagi dengan Romeo?"
Lia hanya menggeleng dan mereka terlibat dalam banyak percakapan yang tak ku ikuti detailnya. Romeo. Aku yakin itu nama teman dekat Lia. Tapi kenapa dia tampak menghindar saat temannya menanyakannya?
Hampir tiga puluh menit mereka berbincang sebelum akhirnya Lia kembali pergi. Dapat kusimpulkan dia tak suka berbicara banyak dengan orang lain.
Sesaat sebelum dia berdiri dan beranjak meninggalkan tempat duduknya, kudapati untuk yang ketiga kalinya, ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Jantungku berdetak lebih cepat. Ternyata dia sangat waspada. "Kenapa, Lia? Apakah ada lagi orang yang mengikutimu?" Pertanyaan Dina membuatku tersentak. Mungkinkah aku bukan orang pertama yang pernah mengikutinya? Mungkinkah ada orang lain sebelumnya?
"Sepertinya begitu, Din. Tapi aku tak yakin juga."
Kembali dia berjalan menyusuri tepian jembatan hingga akhirnya tiba di sebuah belokan menuju jalan setapak. Ah, kenapa baru kali ini aku menyadari ada jalan kecil menuju pantai di tepi jembatan ini?
Kuputuskan untuk tak mengikutinya lebih jauh. Hanya memandangnya dari atas jembatan ini. Tampak dia terus berjalan, menyusuri tepian pantai. Kakinya sesekali memainkan pasir dan dia membuka sepatunya. Kuperhatikan dengan seksama, dia tampak menikmatinya, namun ada keanehan saat dia perlahan terduduk dan menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya sebelum akhirnya dia membenamkan wajahnya di atas lututnya yang telah tertekuk.
Aku tahu pasti dia sedang menangis. Tapi kenapa? Tanganku mengepal erat, dan untuk menutupinya, ku sembunyikan keduanya di dalam saku celana. Sekuat tenaga kutahan keinginanku untuk menghampirinya.
Apa yang membuatnya menangis? Atau mungkin lebih tepat, siapa yang tega membuatnya meneteskan air mata? Tak sadarkah orang itu jika tersenyum dia jauh tampak lebih indah?
Karena asyik berkutat dengan kekesalan, tak kusadari Lia telah berada beberapa langkah di depanku. Suaranyalah yang menyadarkanku.
"Aku baik, ma. Tak ada yang perlu dicemaskan," sebuah senyuman tampak tersungging lagi dari bibirnya sambil dia memasukkan ponselnya ke dalam tasnya.
Dan seketika dia berhenti melangkah karena mendapatiku sedang memperhatikannya. Matanya yang masih tampak merah saat itu membulat. Aku yang tak siap dengan keadaan itu hanya sedikit membuka mulut tanpa berkata apa-apa. Tak ada kata yang mampu terucap. Dia tampak sangat ketakutan dan kembali melangkah cepat melewatiku.
Setelah beberapa saat dia kembali menoleh ke belakang, ke arahku. Kali ini aku tersenyum dan menganggukkan kepala. Sedikit kutatap mata indahnya. Saat itulah aku berjanji untuknya dalam diam. Kelak tak akan kubiarkan air mata itu kembali menetes. Tak akan kubiarkan dia hanya tersenyum karena sebuah keharusan. Akan kuciptakan dunia untuknya. Dunia yang akan membuatnya menyunggingkan senyum ketulusan, bukan senyuman palsu. Kelak.